Pendidikan yang diterapkan oleh masyarakat terkadang masih menjadi
sebuah pertanyaan, atau perenungan terutama dalam hubungan orang tua
terhadap anak. Bukan suatu kegagalan, namun kurang puasnya sebuah
didikan yang diberikan dan yang diterima, terlebih oleh yang memberi
(guru atau orang tua). Namun diluar itu pendidikan orang tua yang
diberikan kepada anak juga mengalami hal yang sama.
Prakteknya sering terdengar keluhan orang tua melihat anak-anaknya
yang kurang atau bahkan tidak sesuai yang diharapkannya. Meskipun orang
tua juga telah memaksimalkan usahanya dalam mendidik anak. Namun yang
apakah peran pendidikan itu yang mengharapkan hanya orang tua saja?
Tidak memandang keinginan anak? Tentu saja tidak, begitu sebaliknya
orang tua juga tidak bisa memberikan sepenuhnya keinginan anak karena
ada beberapa faktor yang ada.
Dalam mendidik seorang anak mungkin tidak hanya cukup dengan memenuhi
kebutuhan pendidikan anak atau memenuhi keinginan orang tua yang
mendidik anak, namun faktor emosional orang tua dan anak yang kurang
diperhatikan, karena banyak contoh anak yang sekolahkan sesuai keinginan
orang tua dan memenuhi segala keinginannya terkadang mengecewakan, atau
memaksa supaya masuk ke sekolah yang tidak sesuai keinginan anak juga
tidak berhasil. Tidak dalam hal pendidikan formal saja, namun dalam
aktivitas sehari-hari pun sama. Dari hal ini sebuah kedekatan emosional
memang tidak bisa di abaikan begitu saja.
Karena dari hubungan emosional iniah yang menjadi dasar seorang anak
menjadi segan terhadap orang tua. Dalam menjalin hubungan ini contoh
kecil memberikan pujian, atau sekedar ngobrol bersama sambil makan atau
nonton telivisi ini akan semakin terasa sebuah kasih sayang orang tua
dan secara mental orang tua akan bisa membaca keadaan anak. Untuk
melanjutkan kedalam pendidikan lain pun anak akan terasa segan dan
mempunyai tanggung jawab dari sebuah komitmen sebuah kedekatan yang
dibangunnya.
Budaya “Sing penting pinter” terlalu meracuni dan seolah
melepaskan tanggung jawab mental orang tua yang diserahkan kepada guru
atau pengajar yang lain. Kedekatan orang tualah yang menjadi pondasi
mental dan keseganan anak bias mengaplikasikan “dadi bocah kue mendem njero njunjung duwur”.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar