Pada dasarnya, syari’at islam dari masa awal banyak menampung dan
mengakui adat atau tradisi itu selama tidak bertentangan dengan Alqur’an dan
Hadits. Kedatangan islam bukan menghapuskan sama sekali tradisi yang telah
menyatu dengan masyarakat. Tetapi secara selektif ada yang diakui dan
dilestarikan serta pula ada yang
dihapuskan. Misal adat kebiasaan yang diakui,
kerjasama dengan cara berbagi untung (al-mudarabah). Praktik seperti ini
berkembang di bangsa arab sebelum islam. Berdasarkan pernyataan ini, para ulama
menyimpulkan bahwa adat istiadat yang baik secara sah dapat dijadikan landasan
hukum, bialamana memenuhi beberapa persyaratan. Untuk lebih jelasnya, artikel
ini akan membahas tentang ‘Urf dan hal-hal yang berhubungan dengannya.
A. Pengertian
Tradisi (‘Urf)
العرفُ هو ما تعارفه الناس و ساروا عليه من قولٍ او فعلٍ و يُسَمىَّ
"الْعَادَةَ"
“Urf ialah apa yang telah dibiasakan oleh masyarakat dan dijalankan
terus menerus baik berupa perkataan atau perbuatan. Urf disebut juga sebagai
adat kebiasaan” (Abdul Wahab Khallaf, 1972:89)
Sebagai contoh
adat kebiasaan yang berupa perkataan (‘Urf Qauly) misalnya perkataan “Walad”
(anak) menurut bahasa sehari-hari hanya khusus bagi anak laki-laki saja, sedang
anak perempuan tidak termasuk dalam perkataan itu, dan perkataan “Lahm”
(daging) dalam permbicaraan sehari-hari tidak mencakup ikan. (Miftahul Arifin
dan A. Faisal Haq, 1997:146).
Dan sebagai
contoh ‘Urf yang berupa perbuatan (‘Urf Amaly) adalah seperti jual beli (ba’i)
mu’atah yakni jual beli dimana si pembeli menyerahkan uang sebagai pembayaran
atas barang yang telah diambilnya, tanpa mengadakan ijab qabul, karena harga
barang tersebut sudah dimaklumi bersama. (Miftahul Arifin dan A. Faisal Haq, 1997:146).
B.
Perbedaan ‘Urf dan ‘Adah
Salah satu cara untuk menemukan perbedaan antara ‘Urf dan ‘Adah
adalah dengan mengetahui dan menganalisis dari definisi masing-masing.
‘Adah/Adat menurut definisinya ialah :
الامرُ المتكرِّرين من غير علقةٍ عقليّةٍ
“Sesuatu yang dikerjakan secara berulang-ulang tanpa adanya
hubungan rasional” (Nasrun Haroen, 1996: 138).
Definisi ini
menunjukkan bahwa apabila suatu perbuatan dilakukan secara berulang-ulang
menurut akal, tidak dinamakan adat. Definisi ini juga menunjukkan bahwa adat
itu mencakup persoalan yang amat luas yang menyangkut permasalahan pribadi,
seperti kebiasaan seseorang dalam tidur, makan dan mengkonsumsi jenis makanan
tertentu, atau permasalahan yang menyangkut orang banyak, yaitu sesuatu yang
berkaitan dengan hasil pemikiran yang baik dan yang buruk (Nasrun Haroen, 1996:
138).
Adat juga bisa
muncul dari sebab alami, seperti cepatnya seorang anak menjadi baligh di daerah
tropis. Disamping itu adat juga bisa muncul dari hawa nafsu dan kerusakan
akhlak seperti korupsi, sebagaimana adat juga bisa muncul dari kasus-kasus
tertentu, seperti perubahan budaya suatu daerah disebabkan pengaruh budaya
asing (Nasrun Haroen, 1996: 138).
Sedangkan ‘Urf
menurut ulama’ ushul fiqh adalah:
عادةُ جمهورِ قومٍ في قولٍ او فعلٍ
“Kebiasaan mayoritas kaum baik perkataan atau perbuatan”
(Nasrun Haroen, 1996: 138).
Berdasarkan
definisi ini, Mushtafa Ahmad al-Zarqa’ (guru besar di Universitas Islam ‘Amman,
Jordania), mengatakan bahwa ‘Urf marupakan bagian dari “Adah atau adat, karena
adat lebih umum dari ‘Urf (Nasrun Haroen, 1996: 138).
Suatu ‘Urf,
menurutnya harus berlaku pada kebanyakan orang di daerah tertentu, buakn pada
pribadi atau kelompok tertentu dan ‘Urf bukanlah kebiasaan alami sebagaimana
yang berlaku dalam kebanyakan adat, tetapi muncul dari suatu
pemikiran-pemikiran dan pengalaman, seperti kebiasaan mayoritas masyarakat pada
daerah tertentu yang menetapkan bahwa untuk memenuhi keperluan rumah tangga
pada suatu perkawinan bisa diambil dari mas kawin yang diberikan suami dan
penetapan ukuran tertentu dalam penjualan makanan (Nasrun Haroen, 1996:
138-139).
C. Pengertian Urf’
Shahih dan ‘Urf Fasid
‘Urf itu ada
dua macam, yakni ‘Urf Shahih dan ‘Urf fasid.
فالعرف
الصحيح هو ما تعارفه الناس ولا يخالف دليلاً شرعيّاً ولا يحل محرماً ولا يبطلُ واجباً
‘Urf Shahih
ialah adat kebiasaan yang dilakukan oleh orang-orang yang tidak bertentangan
dengan dalil syara’ yang tidak menghalalkan yang haram dan tidak mengbatalkan
yang wajib (Abdul Wahab Khallaf, 2004: 89).
Misalnya adat
kebiasaan yang berlaku pada dunia perdagangan tentang indent, adat kebiasaan
dalam membayar mahar dan lain sebagainya. (Miftahul Arifin dan A. Faisal Haq,
1997:147).
أما العرف الفاسد فهو ما تعارفه الناس و لكنه يخالف الشرع او يحلُّ
المحرم او يبطل الواجب
Sedangkan ‘Urf
Fasid adalah kebiasaan yang dilkukan oleh orang-orang yang berlawanan dengan
ketentuansyari’at karena membawa kepada menghalalkan yang haram dan membatalkan
yang wajib (Abdul Wahab Khallaf, 2004: 89).
Misalnya kebiasaan-kebiasaan
dalam aqad perjanjian yang bersifat riba, kebiasaan dalam mencari dana dengan
mengadakan macam-macam kupon berhadiah dan lain sebagainya. (Miftahul Arifin
dan A. Faisal Haq, 1997:147).
D. Ke-Hujjah-an
Tradisi
Madzhab yang
terkenal menggunakan ‘Urf sebagai landasan hukum adalah kalangan Hanafiyah,
Malikiyah, Hanabilah dan Syafi’iyah, namun para ulama’ sepakat menolak ‘Urf
Fasid untuk dijadikan landasan hukum. Di antara para ulama’ yang berkata bahwa
‘Urf adalah syari’at yang dikukuhkan sebagai hukum, Imam Malik mendasarkan
sebagian besar hukumnya pada perbuatan penduduk
madina. Imam Abu Hanifah bersama murid-muridnya berbeda pendapat dalam
beberapa hukum dengan alasan perbedaan ‘Urf, Imam Syafi’i ketika sudah berada
di Mesir, mengubah sebagian pendapatnya tentang hukum yang tellah
dikeluarkannya di Baghdad karena alasan ‘Urf pula. Dan Imam Hanafi banyak
hukum-hukum yang ditentukam berdasarkan ‘Urf (Rahmat Syafe’i, 1999: 129-130).
Adapun
landasanhukum yang menjadi alasan menggunakan ‘Urf adalah ayat Alqur’an (QS.
Al-A’raf: 199)
Éè{ uqøÿyèø9$# óßDù&ur Å$óãèø9$$Î/ óÚÌôãr&ur Ç`tã úüÎ=Îg»pgø:$# ÇÊÒÒÈ
Artinya: “Jadilah
engkau pema’af dan suruhlah orang mengerjakan yang ma’ruf, serta berpalinglah
dari pada orang-orang yang bodoh”.
Kehujjahan
tradisi (‘Urf) itu perlu diklarifikasi dari macam ‘Urf itu sendiri karena akan
menimbulkan hukum yang bermacam/berbeda pula.
1)
‘Urf Shahih
‘Urf ini harus dipelihara oleh seorang mujtahid didalam
menciptakan hukum-hukum dan oleh seorang hakim dalam memutuskan sebuah perkara.
Karena apa yang telah dibiasakan dan dijalankan oleh orang banyak adalah
menjadi kebutuhan dan menjadi maslahah yang diperlukannya, selama kebiasaan
tersebut tidak berlawanan dengan syari’at, haruslah dipeliharanya. (Miftahul
Arifin dan A. Faisal Haq, 1997:147).
Syari’at sendiri telah memelihara hukum, misalnya
syari’at menetapkan adanya kafa’ah dalam pernikahan, mewajibkan membayar denda
sebagai ganti hukuman qishash, bila si pembunu tidak di tuntut oleh keluarga
orang yang terbunuh untuk dijatuhi hukuman qishash dan memperlakukan tertib
susunan ashabar dalam pembagian harta pusaka dan perwalian. Atas dasar itulah
para ulama’ ahli ushul membuat qaidah “العادة المُحكّمة” yang artinya adat
kebiasaan itu merupakan syari’at yang ditetapkan sebagai hukum. (Miftahul Arifin dan A. Faisal Haq, 1997:147-148).
2) ‘Urf fasid
Tradisi buruk (‘Urf Fasid) ini tidak harus diperhatikan, karena dengan
memeliharanya berarti menentang dalil syara’ atau membatalkan hukum syara’.
Oleh karena itu, apabila seseorang membiasakan mengadakan perikatan- perikatan
yanng fasid, seperti perikatan yang mengandung riba atu mengandung unsur
penipuan, maka kebiasaan-kebiasaan tersebut tidak mempunyai pengaruh dalam
menghalalkan perikatan tersebut. hanya saja perikatan-perikatan semacam itu
dapat ditinjau dari segi lain untuk dibenarkannya. Misalnya dari segi sangat
dibutuhkn atau dari segi darurat. Dengan demikian dibolehkan mengerjakan
perbuatan yang demikian itu dengan alasan darurat, bukan karena sudah biasa
dilakukan oleh orang banyak. (Miftahul
Arifin dan A. Faisal Haq,1997:147-148).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar