Jumat, 13 Desember 2013

Pengertian dan Hujjah Tradisi dalam Perspektif Ushul Fiqh



Pada dasarnya, syari’at islam dari masa awal banyak menampung dan mengakui adat atau tradisi itu selama tidak bertentangan dengan Alqur’an dan Hadits. Kedatangan islam bukan menghapuskan sama sekali tradisi yang telah menyatu dengan masyarakat. Tetapi secara selektif ada yang diakui dan dilestarikan serta pula ada yang
dihapuskan. Misal adat kebiasaan yang diakui, kerjasama dengan cara berbagi untung (al-mudarabah). Praktik seperti ini berkembang di bangsa arab sebelum islam. Berdasarkan pernyataan ini, para ulama menyimpulkan bahwa adat istiadat yang baik secara sah dapat dijadikan landasan hukum, bialamana memenuhi beberapa persyaratan. Untuk lebih jelasnya, artikel ini akan membahas tentang ‘Urf dan hal-hal yang berhubungan dengannya.
A.    Pengertian Tradisi (‘Urf)
العرفُ هو ما تعارفه الناس و ساروا عليه من قولٍ او فعلٍ و يُسَمىَّ "الْعَادَةَ"
Urf ialah apa yang telah dibiasakan oleh masyarakat dan dijalankan terus menerus baik berupa perkataan atau perbuatan. Urf disebut juga sebagai adat kebiasaan” (Abdul Wahab Khallaf, 1972:89)
Sebagai contoh adat kebiasaan yang berupa perkataan (‘Urf Qauly) misalnya perkataan “Walad” (anak) menurut bahasa sehari-hari hanya khusus bagi anak laki-laki saja, sedang anak perempuan tidak termasuk dalam perkataan itu, dan perkataan “Lahm” (daging) dalam permbicaraan sehari-hari tidak mencakup ikan. (Miftahul Arifin dan A. Faisal Haq, 1997:146).
Dan sebagai contoh ‘Urf yang berupa perbuatan (‘Urf Amaly) adalah seperti jual beli (ba’i) mu’atah yakni jual beli dimana si pembeli menyerahkan uang sebagai pembayaran atas barang yang telah diambilnya, tanpa mengadakan ijab qabul, karena harga barang tersebut sudah dimaklumi bersama. (Miftahul Arifin dan A. Faisal Haq, 1997:146).
B.     Perbedaan ‘Urf dan ‘Adah
Salah satu cara untuk menemukan perbedaan antara ‘Urf dan ‘Adah adalah dengan mengetahui dan menganalisis dari definisi masing-masing.
‘Adah/Adat menurut definisinya ialah :
الامرُ المتكرِّرين من غير علقةٍ عقليّةٍ
Sesuatu yang dikerjakan secara berulang-ulang tanpa adanya hubungan rasional” (Nasrun Haroen, 1996: 138).
Definisi ini menunjukkan bahwa apabila suatu perbuatan dilakukan secara berulang-ulang menurut akal, tidak dinamakan adat. Definisi ini juga menunjukkan bahwa adat itu mencakup persoalan yang amat luas yang menyangkut permasalahan pribadi, seperti kebiasaan seseorang dalam tidur, makan dan mengkonsumsi jenis makanan tertentu, atau permasalahan yang menyangkut orang banyak, yaitu sesuatu yang berkaitan dengan hasil pemikiran yang baik dan yang buruk (Nasrun Haroen, 1996: 138).
Adat juga bisa muncul dari sebab alami, seperti cepatnya seorang anak menjadi baligh di daerah tropis. Disamping itu adat juga bisa muncul dari hawa nafsu dan kerusakan akhlak seperti korupsi, sebagaimana adat juga bisa muncul dari kasus-kasus tertentu, seperti perubahan budaya suatu daerah disebabkan pengaruh budaya asing (Nasrun Haroen, 1996: 138).
Sedangkan ‘Urf menurut ulama’ ushul fiqh adalah:
عادةُ جمهورِ قومٍ في قولٍ او فعلٍ
Kebiasaan mayoritas kaum baik perkataan atau perbuatan” (Nasrun Haroen, 1996: 138).
Berdasarkan definisi ini, Mushtafa Ahmad al-Zarqa’ (guru besar di Universitas Islam ‘Amman, Jordania), mengatakan bahwa ‘Urf marupakan bagian dari “Adah atau adat, karena adat lebih umum dari ‘Urf (Nasrun Haroen, 1996: 138).
Suatu ‘Urf, menurutnya harus berlaku pada kebanyakan orang di daerah tertentu, buakn pada pribadi atau kelompok tertentu dan ‘Urf bukanlah kebiasaan alami sebagaimana yang berlaku dalam kebanyakan adat, tetapi muncul dari suatu pemikiran-pemikiran dan pengalaman, seperti kebiasaan mayoritas masyarakat pada daerah tertentu yang menetapkan bahwa untuk memenuhi keperluan rumah tangga pada suatu perkawinan bisa diambil dari mas kawin yang diberikan suami dan penetapan ukuran tertentu dalam penjualan makanan (Nasrun Haroen, 1996: 138-139).
C.    Pengertian Urf’ Shahih dan ‘Urf Fasid
‘Urf itu ada dua macam, yakni ‘Urf Shahih dan ‘Urf fasid.
فالعرف الصحيح هو ما تعارفه الناس ولا يخالف دليلاً شرعيّاً ولا يحل محرماً  ولا يبطلُ واجباً
‘Urf Shahih ialah adat kebiasaan yang dilakukan oleh orang-orang yang tidak bertentangan dengan dalil syara’ yang tidak menghalalkan yang haram dan tidak mengbatalkan yang wajib (Abdul Wahab Khallaf, 2004: 89).
Misalnya adat kebiasaan yang berlaku pada dunia perdagangan tentang indent, adat kebiasaan dalam membayar mahar dan lain sebagainya. (Miftahul Arifin dan A. Faisal Haq, 1997:147).
أما العرف الفاسد فهو ما تعارفه الناس و لكنه يخالف الشرع او يحلُّ المحرم او يبطل الواجب
Sedangkan ‘Urf Fasid adalah kebiasaan yang dilkukan oleh orang-orang yang berlawanan dengan ketentuansyari’at karena membawa kepada menghalalkan yang haram dan membatalkan yang wajib (Abdul Wahab Khallaf, 2004: 89).
Misalnya kebiasaan-kebiasaan dalam aqad perjanjian yang bersifat riba, kebiasaan dalam mencari dana dengan mengadakan macam-macam kupon berhadiah dan lain sebagainya. (Miftahul Arifin dan A. Faisal Haq, 1997:147).
D.    Ke-Hujjah-an Tradisi
Madzhab yang terkenal menggunakan ‘Urf sebagai landasan hukum adalah kalangan Hanafiyah, Malikiyah, Hanabilah dan Syafi’iyah, namun para ulama’ sepakat menolak ‘Urf Fasid untuk dijadikan landasan hukum. Di antara para ulama’ yang berkata bahwa ‘Urf adalah syari’at yang dikukuhkan sebagai hukum, Imam Malik mendasarkan sebagian besar hukumnya pada perbuatan penduduk  madina. Imam Abu Hanifah bersama murid-muridnya berbeda pendapat dalam beberapa hukum dengan alasan perbedaan ‘Urf, Imam Syafi’i ketika sudah berada di Mesir, mengubah sebagian pendapatnya tentang hukum yang tellah dikeluarkannya di Baghdad karena alasan ‘Urf pula. Dan Imam Hanafi banyak hukum-hukum yang ditentukam berdasarkan ‘Urf (Rahmat Syafe’i, 1999: 129-130).
Adapun landasanhukum yang menjadi alasan menggunakan ‘Urf adalah ayat Alqur’an (QS. Al-A’raf: 199)
 Éè{ uqøÿyèø9$# óßDù&ur Å$óãèø9$$Î/ óÚ̍ôãr&ur Ç`tã šúüÎ=Îg»pgø:$# ÇÊÒÒÈ  
Artinya: “Jadilah engkau pema’af dan suruhlah orang mengerjakan yang ma’ruf, serta berpalinglah dari pada orang-orang yang bodoh”.
Kehujjahan tradisi (‘Urf) itu perlu diklarifikasi dari macam ‘Urf itu sendiri karena akan menimbulkan hukum yang bermacam/berbeda pula.
1)      Urf Shahih
‘Urf ini harus dipelihara oleh seorang mujtahid didalam menciptakan hukum-hukum dan oleh seorang hakim dalam memutuskan sebuah perkara. Karena apa yang telah dibiasakan dan dijalankan oleh orang banyak adalah menjadi kebutuhan dan menjadi maslahah yang diperlukannya, selama kebiasaan tersebut tidak berlawanan dengan syari’at, haruslah dipeliharanya. (Miftahul Arifin dan A. Faisal Haq, 1997:147).
Syari’at sendiri telah memelihara hukum, misalnya syari’at menetapkan adanya kafa’ah dalam pernikahan, mewajibkan membayar denda sebagai ganti hukuman qishash, bila si pembunu tidak di tuntut oleh keluarga orang yang terbunuh untuk dijatuhi hukuman qishash dan memperlakukan tertib susunan ashabar dalam pembagian harta pusaka dan perwalian. Atas dasar itulah para ulama’ ahli ushul membuat qaidah “العادة المُحكّمة” yang artinya adat kebiasaan itu merupakan syari’at yang ditetapkan sebagai hukum. (Miftahul Arifin dan A. Faisal Haq, 1997:147-148).
2)      ‘Urf fasid
Tradisi buruk (‘Urf Fasid) ini tidak harus diperhatikan, karena dengan memeliharanya berarti menentang dalil syara’ atau membatalkan hukum syara’. Oleh karena itu, apabila seseorang membiasakan mengadakan perikatan- perikatan yanng fasid, seperti perikatan yang mengandung riba atu mengandung unsur penipuan, maka kebiasaan-kebiasaan tersebut tidak mempunyai pengaruh dalam menghalalkan perikatan tersebut. hanya saja perikatan-perikatan semacam itu dapat ditinjau dari segi lain untuk dibenarkannya. Misalnya dari segi sangat dibutuhkn atau dari segi darurat. Dengan demikian dibolehkan mengerjakan perbuatan yang demikian itu dengan alasan darurat, bukan karena sudah biasa dilakukan oleh orang banyak. (Miftahul Arifin dan A. Faisal Haq,1997:147-148).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar