Jumat, 13 Desember 2013

Hukum Islam dan Hukum Adat di Indonesia


Dalam pengkajian pelaksanaan hukum adat dan hukum Islam di Indonesia, terjadi perdebatan sengit antara para ahli hukum mnegnai status hukum adat dan hukum Islam. Oleh karena itu timbullah 3 (tiga) teori mengenai hukum adat dan hukum Islam. Teori dimaksud diungkapkan sebagai berikut (Zainuddin Ali, 2006: 81). 

Teori Receptio in Complexu 

Teori Receptio in Complexu ini dipelopori oleh L.W.C. Van den Berg (1845-1927). Van den Berg mengemukakan bahwa orang Islam Indonesia
telah menerima (meresepsi) hukum Islam secara menyeluruh. Sebagai bukti teori ini, diungkapkan sebagai berikut : 
"Statuta Batavia (sekarang disebut Jakarta) 1642 menyebutkan bahwa sengketa warisan antar orang pribumi yang beragama islam harus diselesaikan dengan mempergunakan hukum Islam, yakni hukum yang diapakai oleh rakyat sehari-hari. Untuk keperluan ini, D.W. Freijer menyusun Compendium, yaitu bku yang memuat hukum perkawinan dan hukum kewarisan Islam. Buku ini direvisi dan disempurnakan oleh para penghulu, kemudian diberlakukann di daerah jajahan VOC. Buku ini terkenal dengan sebutan Compendium Freijer (H, Mohammad Daud Ali, 1991:71).

Penggunaan kitab Mugharrar dan Pepakem Cirebon serta peraturan yang dibuat oleh B.J.D Cloowijk untuk diberlakukan di wilayah Kerajaan Bone dan Gowa, Sulawesi Selatan. Oleh karena itu, selma VOC berkuasa dua abad (601-1800) kedudukan hukum Islam tetap seperti semula, berlaku dan berkembang di kalangan umat Islam Indonesia. Kenyataan ini, dimungkinkan karena jasa para penyiar agama Islam yang hidup pada abad itu. Demikian juga jasa Naruddin Ar-Raniri yang menulis buku Sirat Al-Mustaqim (jalan lurus) pada tahun 1628 M. Kitab dimaksud merupakan kitab pertama yang disebarluaskan ke seluruh wilayah Indonesia untuk menjadi pegangan umat Islam. Kitab ini di analisi oleh Syaikh Arsyad Al-Banjari yang kemudian dikomentari dalam suatu kitab yang diberi judul Sabil Al-Muhtadin (jalan orang yang diberi petunjuk). Buku ini dijadikan pegangan dalam menyelesaikan sengketa antar umat Islam di daerah Kesultanan Banjar. Demikian juga di daerah kesultanan Palembang dan Banten diterbitkan bebrapa kitab hukum Islam yang dijadikan pegangan dalam masalah hukum keluarga warisan. Juga diikuti oleh kerajaan-kerajaan demak, Jepara, Tuban, Gresik dan Ngampel. (Zainuddin Ali, 2006: 81-82).

Pada tanggal 25 Mei 1760 VOC mengeluarkan peraturan yang senada, yang kemudian diberi nama Resolutie der Indische Regeerling. Salomon Keyzer (1823-1868) dan Christian Van den Berg (1845-1927) menyatakan hukum mengikuti agama yang dianut seseorang (Zainuddin Ali, 2006: 81). 

Teori Receptie 

Teori ini depelopori oleh Christian Snouck Hurgronje (1857-1936) seorang penasihat pemerintah Hindia Belanda tentang soal-soal Islam di negeri jajahan Belanda. Teori ini dikembangkan secara sistematis oelh C. van Vollen Houven dan Btrand ter Haar Bzn serta dilaksanakan dalam praktik oleh murid-murid dan pengikutnya. Menurut mereka, hukum Islam bukanlah hukum, melaiknkan hukum Islam itu baru menjadi hukum apabila diterima oleh hukum adat. Oelh karena itu, hukum adatlah yang menentukan berlaku tidaknya hukum Islam (Munawir Sjadzali, 1991: 45). Sebagai contoh pengaruh teori  Receptie saat ini di Indonesia diungkapkan sebagai berikut (Zainuddin Ali, 2006: 82).

Hukum Islam yang bersumber dari Alqur’an dan Hadits (kitab suci umat Islam) hanya sebagian kecil yang mampu dilaksanakan oleh umat Islam di Indonesia. Hukum pidana Islam yang bersumber dari Alqur’an dan Hadits tidk mempunyai tempat eksekusi bila hukkum ini tidak diundangkan di negara Republik Indonesia. Oleh karena itu, hukum pidana Islam baru dapat menjadi hukum yang berlaku bagi pemeluknya secara yuridis formal apabila hukum itu telah diundangkan di negara Republik Indonesia. Namun demikian, bila hukum Islam sudah diundangkan, tampak adanya pilihan hukum bagi orang Islam. Artinya orang Islam masih diberikan hak memilih untuk menggunakan hukum Islam atau memilih hukum selain hukum Islam (tidak menggunakan hukum Islam). Sebagai contoh UU Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama (Zainuddin Ali, 2006: 83). 

Teori Receptio a Contario 

Teori ini dipelopori oleh Hazairin (1905-1975) dan dikembangkan secara sistematis dan di praktikkan oleh muridnya (Sajuti Talib, H. Mohammad Daud Ali, Bismar Siregar, H.M. Tahir Azhary dan sebagainya). Menurut mereka hukum adat dapat menjadi hukum yang berlaku bagi masyarakat muslim kalu hukum adat itu tidak bertentangan dengan hukum Islam (Zainuddin Ali, 1998: 41). Hal ini, diungkapkan 2 (dua) contoh kasus dan 2 (dua) contoh ungkapan yang  menunjukkan bahwa hukum adat dengan hukum oslam tidak dapat dicerai-pisahkan. Contoh dan ungkapan tersebut adalah sebagai berikut (Zainuddin Ali, 2006: 83).

Suku Kaili di Sulawesi tengah
Sebelum beragama Islam bila seorang laki-laki hendak menikah dengan seorang perempuan, mereka menyampaikannya kepada ketua Dewan Adat. Dewan Adat ini mengambil air bersih dari sumber mata air, kemudian air ini secara hukum adat dipercikkan oleh ketua Dewan Adat kepada dua calon mempelai. Hal ini menandai selesainya pernikahan. Namun, sesudah suku Kaili memeluk agama Islam, maka tata cara pernikahannya mereka dilaksanakan oleh kedua calon mempelai yang sesuai dengan hukum perkawinan Islam.

Suku Bugis di Sulawesi Selatan
Bila mereka melakukan pembagian harta warisan kepada ahli waris anak laki-laki dan anak perempuan, pembagiannya dilakukan berdasarkan pembagian yang sama jumlahnya, yaitu bagian harta warisan seorang anak laki-laki sama dengan harta warisan seorang anak perempuan (sama wae asanna manae atau 1:1). Namun, setelah mereka memeluk agama Islam, pembagian harta warisan berubah mengikuti hukum kewarisan Islam, yaitu bagian seorang anak laki-laki sama dengan bagian 2 (dua) anak perempuan (2:1). Pembagian harta warisan ini, tertuang dalam ungkapan suku Bugis “Majjujung makkunraie mallempa aroanae”.

Suku Minang di Sumatra Barat
Suku Minang membuat pepatah : Adat bersendi syara’, syara’ bersendi kitabullah. Artinya hukum adat bersumber dari hukum islam, hukum islam bersumber dari Alqur’an.

Suku Aceh
Mereka membuat pepatah : adek dan syara’ sanda menyanda, syara’ mengato adek memakai. Artinya hubungan hukum adat dengan hukum islam erat sekali, saling topang menopang, hukum Islam menentukan, hukum adat melaksanakan (Zainuddin Ali, 1998: ii).

Dari uraian tersebut, dapat diketahui dan dipahami bahwa sistem hukum Islam negara Republik Indonesia berlaku, sehingga dapat dikatakan bahwa sistem hukum Indonesia menganut sistem hukum majmuk. Namun demikian, sistem-sistem hukum ini merupakan suatu mata rantai yang tidak ddapat dipisahkan dalam proses pembentukan hukum nasional yang berasakan pancasila. Pancasila sebagai asas yang menjadi pedoman dan bintang pemandu terhadap norma hukum lainnya termasuk Undang-Undang Dasar 1945, undag-undang dan peraturan lainnya (Zainuddin Ali, 2006: 83).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar