Memahammi dan Menolong Siswa yang
kurang PD
Nuril adalah siswa kelas I SMU favorit
di Probolinggo yang barusan naik kelas II. Ia berasal dari keluarga petani yang
terbilang cukup secara sosial ekonomi di desa pedalaman -+ 17 km di luar kota
Probolinggo, sebagai anak pertama semula orang tuanya berkeberatan setamat SLTP
anaknya melanjutkan ke SMU di Probolinggo, orang tua sebetulnya berharap agar
anaknya tidak perlu susah-sudah melanjutkan sekolah ke kota, tapi
atas bujukan wali kelas anaknya saat pengambilan STTB dengan berat merelakan anaknya melanjutkan sekolah. Pertimbangan wali kelasnya karena Nuril terbilang cerdas diantara teman-teman yang lain sehingga wajar jika bisa diterima di SMU favorit. Sejak diterima di SMU favorit di satu pihak Nuril bangga sebagai anak desa toh bisa diterima, tetapi di lain pihak mulai minder dengan teman-temannya yang sebagian besar dari keluarga kaya dengan pola pergaulan yang begitu beda dengan latar belakang Nuril. Ia menganggap teman-teman dari keluarga kaya tersebut sebagai orang yang egois, kurang bersahabat, pilih-pilih teman yang sama-sama dari keluarga kaya saja, dan sombong. Makin lama perasaan ditolak, terisolik, dan kesepian makin mencekam dan mulai timbul sikap dan anggapan sekolahnya itu bukan untuk dirinya tidak krasan, tetapi mau keluar malu dengan orang tua dan temannya sekampung, terus bertahan, susah tak ada/punya teman yang peduli. “Dasar saya anak desa, anak miskin” (dibanding teman-temannya di kota) hujatnya pada diri sendiri. Akhirnya benar-benar menjadi anak minder, pemalu dan serta ragu dan takut bergaul sebagaimana mestinya. Makin lama nilainya makin jatuh sehingga beban pikiran dan perasaan makin berat, sampai-sampai ragu apakah bisa naik kelas atau tidak.
atas bujukan wali kelas anaknya saat pengambilan STTB dengan berat merelakan anaknya melanjutkan sekolah. Pertimbangan wali kelasnya karena Nuril terbilang cerdas diantara teman-teman yang lain sehingga wajar jika bisa diterima di SMU favorit. Sejak diterima di SMU favorit di satu pihak Nuril bangga sebagai anak desa toh bisa diterima, tetapi di lain pihak mulai minder dengan teman-temannya yang sebagian besar dari keluarga kaya dengan pola pergaulan yang begitu beda dengan latar belakang Nuril. Ia menganggap teman-teman dari keluarga kaya tersebut sebagai orang yang egois, kurang bersahabat, pilih-pilih teman yang sama-sama dari keluarga kaya saja, dan sombong. Makin lama perasaan ditolak, terisolik, dan kesepian makin mencekam dan mulai timbul sikap dan anggapan sekolahnya itu bukan untuk dirinya tidak krasan, tetapi mau keluar malu dengan orang tua dan temannya sekampung, terus bertahan, susah tak ada/punya teman yang peduli. “Dasar saya anak desa, anak miskin” (dibanding teman-temannya di kota) hujatnya pada diri sendiri. Akhirnya benar-benar menjadi anak minder, pemalu dan serta ragu dan takut bergaul sebagaimana mestinya. Makin lama nilainya makin jatuh sehingga beban pikiran dan perasaan makin berat, sampai-sampai ragu apakah bisa naik kelas atau tidak.
Memahami Nuril dalam
perspektif Rasional Emotif
Menurut pandangan rasional emotif, manusia memiliki kemampuan inheren untuk berbuat rasional ataupun tidak rasional, manusia terlahir dengan kecenderungan yang luar biasa kuatnya berkeinginan dan mendesak agar supaya segala sesuatu terjadi demi yang terbaik bagi kehidupannya dan sama sekali menyalahkan diri sendiri, orang lain, dan dunia apabila tidak segera memperoleh apa yang diinginkannya. Akibatnya berpikir kekanak-kanakan (sebagai hal yang manunusiawi) seluruh kehidupannya, akhirnya hanya kesulitan yang luar biasa besar mampu mencapai dan memelihara tingkah laku yang realistis dan dewasa, selain itu manusia juga mempunyai kecenderungan untuk melebih-lebihkan pentingnya penerimaan orang lain yang justru menyebabkan emosinya tidak sewajarnya seringkali menyalahkan dirinya sendiri dengan cara-cara pembawaannya itu dan cara-cara merusak diri yang diperolehnya. Berpikir dan merasa itu sangat dekat dan dengan satu sama lainnya. Pikiran dapat menjadi perasaan dan sebaliknya, Apa yang dipikirkan dan atau apa yang dirasakan atas sesuatu kejadian diwujudkan dalam tindakan/perilaku rasional atau irasional. Bagaimana tindakan/perilaku itu sangat mudah dipengaruhi oleh orang lain dan dorongan-doronan yang kuat untuk mempertahankan diri dan memuaskan diri sekalipun irasional.
Ciri-ciri irasional seseorang tak dapat
dibuktikan kebenarannya, memainkan peranan Tuhan apa saja yang dimui harus
terjadi, mengontrol dunia, dan jika tidak dapat melakukannya dianggap goblok
dan tak berguna; menumbuhkan perasaan tidak nyaman (seperti kecemasan) yang
sebenarnya tak perlu, tak terlalu jelek/memalukan namun dibiarkan terus
berlangsung, dan menghalangi seseorang kembai ke kejadian awal dan mengubahnya.
Bahkan akhirnya menimbulkan perasaan tak berdaya pada diri yang bersangkutan.
Bentuk-bentuk pikiran/perasaan irasional tersebut misalny: “semua orang
dilingkungan saya harus menyenangi saya, kalau ada yang tidak senang terhadap
saya itu berarti malapetaka bagi saya. Itu berarti salah saya, karena saya tak
berharga, tak seperti orang/teman-teman lainnya. Saya pantas menderita karena
semuanya itu”.
Sehubungan dengan kasus, Nuril
sebetulnya terlahir dengan potensi unggul, ia menjadi bermasalah karena
perilakunya dikendalikan oleh pikiran/perasaan irasional, ia telah menempatkan
harga diri pada konsep/kepercayaan yang salah yaitu jika kaya, semua teman
memperhatikan / mendukung, peduli, dan lain-lain dan itu semua tidak
ada/didapatkan sejak di SMU, sampai pada akhirnya menyalahkan dirinya sendiri
dengan hujatan dan penderitaaan serta mengisolir dirinya sendiri. Ia telah
berhasil membangun konsep dirinya secara tidak realistis berdasarkan anggapan
yang salah terhadap (dan dari) teman-teman lingkungannya. Ia menjadi minder,
pemalu, penakut dan akhirnya ragu-ragu keberhasilan/prestasinya kelak yang
sebetulnya tidak perlu terjadi.
TUJUAN
DAN TEKNIK KONSELING
Jika
pemikiran Nuril yang tidak logis / realistis (tentang konsep dirinya dan
pandangannya terhadap teman-temannya) itu diperangi maka dia akan mengubahnya. Dengan
demikian tujuan konseling adalah memerangi pemikiran irasional Nuril yang
melatar-belakangi ketakutan / kecematannya yaitu konsep dirinya yang salah
beserta sikapnya terhadap teman lain. Dalam konseling konselor lebih bernuansa
otoritatif : memanggil Nuril, mengajak berdiskusi dan konfrontasi langsung
untuk mendorongnya beranjak dari pola pikir irasional ke rasional / logis dan
realistis melalui persuasif, sugestif, pemberian nasehat secara tepat, terapi
dengan menerapkan prinsip-prinsip belajar untuk PR serta bibliografi terapi.
Konseling kognitif : untuk menunjukkan
bahwa Nuril harus membongkar pola pikir irasional tentang konsep harga diri
yang salah, sikap terhadap sesama teman yang salah jika ingin lebih bahagia dan
sukses. Konselor lebih bergaya mengajar, memberi nasehat, konfrontasi langsung
dengan peta pikir rasional-irasoonal, sugesti dan asertive training dengan
simulasi diri menerapkan konsep diri yang benar dan sikap/ketergantungan pada
orang lain yang benar/rasional dilanjutkan sebagai PR melatih, mengobservasi
dan evaluasi diri. Contoh : mulai dari seseorang berharga bukan dari kekayaan
atau jumlah dan status teman yang mendukung, tetapi pada kasih Allah dan
perwujudanNya. Allah mengasihi saya, karena saya berharga dihadiratNya.
Terhadap diri saya sendiri suatu saat saya senang, puas dan bangga, tetapi
kadang-kadang acuh-tak acuh, bahkan adakalanya saya benci, memaki-maki diri
saya sendiri, sehingga wajar dan realistis jika sejumlah 40 orang teman satu
kelas misalnya ada + 40% yang baik, 50% netral, hanya 10% saja yang membeci
saya. Adalah tidak mungkin menuntut semua / setiap orang setiap saat baik pada
saya, dan seterusnya. Ide-ide ini diajarkan, dan dilatihkan dengan pendekatan
ilmiah.
Konseling emotif-evolatif untuk
mengubah sistem nilai Nuril dengan menggunakan teknik penyadaran antara yang
benar dan salah seperti pemberian contoh, bermain peran, dan pelepasan beban
agar Lia melepaskan pikiran dan perasaannya yang tidak rasional dan
menggantinya dengan yang rasional sebagai kelanjutan teknik kognitif di atas.
Konseling behavioritas digunakan untuk mengubah perilaku yang negatif dengan
merobah akar-akar keyakinan Nuril yang irasional/tak logis kontrak
reinforcemen, sosial modeling dan relaksasi/meditasi.
PENUTUP
Teori ini dalam menolong menggunakan pendekatan direct menggunakan nasehat yang
ditandai oleh menyerang masalah dengan intektual dan meyakinkan (koselor).
Tekniknya jelas, teliti, makin melihat/menyadari pikiran dan kata-kata yang
terus menerus ditujukan kepada diri sendiri, yang membawa kehancuran kepada
diri sendiri. Cara konselor ialah dengan pendekatan yang tegas, memintakan
perhatian kepada pikiran-pikiran yang menjadi sebab gangguan itu dan bagaimana
pikiran dan kalimat itu beroperasi hingga membawa akibat yang merugikan. Konselor
selanjutnya menolong dia untuk memikir kembali, menantang, mendebat,
menyebutkan kembali kalimat-kalimat yang merugikan itu, dan dengan cara
demikian ia membawa klien ke kesadaran dan tilikan baru. Tetapi tilikan dan
kesadaran tidak cukup. Ia harus dilatih untuk berpikir dan berkata kepada diri
sendiri hal-hal yang lebih positive dan realistik. Terapis mengajar klien untuk
berpikir betul dan bertindak efektif. Teknik yang dipakai bersifat eklektif
dengan pertimbangan :
- Ekonomis dari segi waktu baik bagi konselor maupun konseli.
- Efektifitas teknis-teknis yang dipakai cocok untuk bermacam ragam konseli.
- Kesegaran hasil yang dicapai.
- Kedalaman dan tanah lama serta dapat dipakai konseli untuk mengkonseling dirinya sendiri kalah.
Kesimpulannya, penstrukturan kembali
filosofis untuk merubah kepribadian yang salah berfungsi menyangkut
langkah-langkah sebagai berikut : (1) mengakui sepenuhnya bahwa kita sebagian
besar bertanggungjawab penciptaan masalah-masalah kita sendiri; (2) menerima
pengertian bahwa kita mempunyai kemampuan untuk merubah gangguan-gangguan
secara berarti; (3) menyadari bahwa problem-problem dan emosi kita berasal dari
kepercayaan-kepercayaan tidak rasional ; (4) mempersepsi dengan jelas
kepercayaan-kepercayaan ini; (5) menerima kenyataan bahwa, jika kita mengharap
untuk berubah, kita lebih baik harus menangani cara-cara tingkah laku dan emosi
untuk tindak balasan kepada kepercayaan-kepercayaan kita dan perasaan-perasan
yang salah fungsi dan tindakan-tindakan yang mengikuti; dan (6) mempraktekkan metode-metode
RET untuk menghilangkan atau merubah konsekuensi-konsekuensi yang terganggu
pada sisa waktu hidup kita ini.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar