Selasa, 08 Oktober 2013

Problem Psikologis : Makan bersama dalam satu nampan



KEBERKAHAN MAKAN BERSAMA
1.      Diskripsi Masalah
Banyak orang yang beranggapan negatif terhadap cara makan para santri di pesantren yang seringkali makan bersama 2-4 orang atau lebih dalam satu wadah/nampan, mereka menyangka bahwa dengan pola makan yang seperti itu lebih mirip seperti pola makan hewan semisal ayam, bebek dll. Mereka juga beranggapan bahwa dengan pola makan seperti itu, besar kemungkinan untuk menjadi lantaran menularnya suatu penyakit atau kuman yang diderita oleh
salah satu dari santri-santri itu kepada santri-santri yang lain, yang ikut makan satu wadah dengannya, hal ini tentu harus kita perjelas terlebih dahulu melalui kacamata agama dan secara psikologis.
2.      Hadith Nabi
Rasulullah saw bersabda[1] :
عن وَحشْيِّ بن حَربٍ عنْ اَبِيهِ عن جدّهِ قال : قالوُا : يَا رسُولَ الله ، اِنّا نأكلُ ولا نَشبعُ؟ قال : تَجتمِعُونَ على طعامِكُمْ او تتفرَّقُون ؟ قالوا : نَتَفَرَّقُ، قال : اجتمعوا على طَعَامِكم، واذكروا اسم الله، يُبَارَكْ لكم فِيهِ
Dari Wahsyi bin Harb dari bapaknya dari kakeknya, “Sesungguhnya para sahabat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah mengadu, wahai Rasulullah sesungguhnya kami makan namun tidak merasa kenyang. Nabi bersabda, “Mungkin kalian makan sendiri-sendiri?” “Betul”, kata para sahabat. Nabi lantas bersabda, “Makanlah bersama-sama dan sebutlah nama Allah sebelumnya tentu makanan tersebut akan diberkahi.” (HR. Abu Daud, Ibnu Majah dan dinilai shahih oleh Ibnu Hibban)
Diriwayatkan dalam Shahih al-Bukhari dan Shahih Muslim dari Abu Hurairah Radhiyallahu anhu, ia berkata: “Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda[2] :
طَعَامُ اْلإِثْنَيْنِ كَافِي الثَّلاَثَةَ، وَطَعَامُ الثَّلاَثَةَ كَافِي اْلأَرْبَعَةَ
Makanan dua orang cukup untuk tiga dan makanan untuk tiga orang mencukupi untuk empat orang
Dalam riwayat lain dari Muslim dari Jabir bin ‘Abdillah Radhiyallahu anhu[3] :
طَعَامُ الْوَاحِدِ يَكْفِي اْلإِثْنَيْنِ، وَالطَّعَامُ اْلإِثْنَيْنِ يَكْفِي اْلأَرْبَعَةَ، وَالطَّعَامُ اْلأَرْبَعَةَ يَكْفِي الثَّمَانِيَةَ
Makanan satu orang mencukupi dua orang, makanan dua orang mencukupi empat orang dan makanan empat orang mencukupi delapan orang
3.      Penjelasan
Di antara etika makan yang diajarkan oleh Rasulullah saw adalah makan bersama pada satu piring. Sesungguhnya hal ini merupakan sebab turunnya keberkahan pada makanan tersebut. oleh karena itu, semakin banyak orang yang makan maka semakin banyak pula keberkahan yang kita dapat. Dalam Syarah Riyadhus Shalihin Jilid VII hal 231 Syaikh Utsaimin menyatakan bahwa makan minum tidak kenyang itu memiliki beberapa sebab :
1)      Tidak membaca basmalah
2)      Mulai makan dari sisi atas piring
3)      Makan sendiri-sendiri dengan piring sendiri-sendiri
           Sama seperti yang terjadi persoalan dialog Nabi dengan Sahabat yang mengeluh karena tidak kenyang setelah makan, yang salah satu faktor penyebabnya adalah karena ia makan sendirian.
4.      Aspek Psikologis
Dunia santri dalam pesantren sangatlah unik, di dalamnya terdapat bermacam-macam suku, adat, kultur bahkan ras yang berbeda namun saling berbaur satu sama lain. Hal ini tentu mempunya efek yang bervariatif pula. Di semua kegiatan pesantren bahkan sampai di dalam kamar masing-masing mereka akan merasakan hal yang berbeda dari kebiasaan dirumah masing-masing.
Ini merupakan salah satu faktor yang bisa saja bisa berdampak positif atau bahkan negatif, tergantung dalam hal apa mereka berbaur dengan orang yang yang berbeda suku, adat dsb, sebagaimana dipaparkan di atas.
Tak bisa dipungkiri, salah satu kebiasaan santri sejak dahulu sampai sekarang yang tak pernah punah ialah makan bersama, baik dalam satu nampan atau daun pisang yang dijejer panjang atau bahkan plastik yang sobek lebar.
Secara umun jika orang non-santri diminta untuk menilai kebiasaan yang satu ini kemungkinan akan memeberikan pernyataan yang kurang tepat, karena kita tahu bahwa pola makan mereka memang terlihat seperti seorang peternak yang sedang memberi makan ayam-ayamnya. Masih mending makan bersama asal piringnya dapat satu persatu. Tapi meski aneh dari sisi kemasannya, kebiasaan santri makan bersama ini tetap mempunya efek yang luar bisa jika kita lihat dari mata Psikologisnya.
Beberapa efek positif yang bisa kita dapat dari Makan Bersama ini dari segi psikologis adalah sebagai berikut :
a.       Terjadinya Akulturasi Budaya antar santri
Dalam proses makan bersama ini, terjadi interaksi yang kadang sulit kita dapatkan di aktifitas yang lain, ada temannya yang makan dengan posisi seperti ini, maka ada uapaya untuk mencoba menirunya, dan seterusnya Sehingga dalam keadaan tersebut sangat mungkin terjadi akulturasi budaya etnis lain oleh sebagian santri yang tergolong masih anak-anak dan remaja karena notabene mereka masih dalam tahap pencarian identitas.
b.      Membangun kemampuan inter-personal pada sesama
Banyak film yang terlalu mendramatisir secara negatif hubungan anak-anak sekolah pada moment makan siang bersama, seperti misalnya justru selalu bertengkar ketika makan siang, dsb. Dalam kehidupan santri makan bersama ini juga dapat membangun kembali hubungan yang retak, atau bahkan mereka bisa memanfaatkannya untuk menyempatkan diri berdiskusi. Karena pada hakikatnya santri juga identik dengan diskusi dimanapun tempatnya dan kapanpun waktunya.
c.       Memperkuat kepekaan dan kepedulian pada sesama
Dalam proses makan bersama, santri tidak akan memulai untuk makan kecuali anggotanya sudah lengkap, meskipun agak lama, tetap saja mereka menunggu temannya yang belum datang tersebut, atau paling tidak mereka menyisahkan nasi serta lauk untuk teman mereka yang tidak hadir itu. Ini merupakan efek positif dalam membangun kepedulian kepada sesama, menjalin kekompakan dalam segala hal bahkan dari hal kecil seperti makan bersama ini.
5.      Penutup
Kebrsamaan dalam hal baik itu sering kali membawa keberkahan bahkan dalam hal kecil sekalipun, seperti kebiasaan santri makan bersama dalam satu wadah ini. Kadang ada hal-hal yang tidak bisa dijangkau melalui ranah logika itu karena masuk dalam ranah spiritual. Ini adalah adab makan yang diajarkan oleh Rasulullah dan juga banyak manfaat jika ditelaah dari kacamata Psikologis. Maka sewajarnya kita jangan menilai negatif suatu kebiasaan hanya karena kemasannya yang kurang baik, sebelum kita tahu betul filosofi dan pelajaran apa yang tersurat di dalamnya.


[1] Al Hafidzh Syihabbuddin Ahmad bin Ali bin Hajar Al Asqalani, Targhib wa Tarhib, (Jakarta : Pustaka Azzam,2006),hal,516
[2] Shahih al-Bukhari (VI/200), Kitaabul Ath’imah bab Tha’aamul Waahid Yakfil Itsnain.
[3] Shahih Muslim (III/1630), Kitaabul Asyribah bab Fadhiilatul Mu-waasaah fith Tha’aamil Qailil wa anna Tha’aamal Itsnain Yakfits Tsalaatsah wa Nahwa Dzaalik.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar