KEBERKAHAN MAKAN BERSAMA
1.
Diskripsi Masalah
Banyak orang
yang beranggapan negatif terhadap cara makan para santri di pesantren yang
seringkali makan bersama 2-4 orang atau lebih dalam satu wadah/nampan, mereka
menyangka bahwa dengan pola makan yang seperti itu lebih mirip seperti pola
makan hewan semisal ayam, bebek dll. Mereka juga beranggapan bahwa dengan pola
makan seperti itu, besar kemungkinan untuk menjadi lantaran menularnya suatu
penyakit atau kuman yang diderita oleh
salah satu dari santri-santri itu kepada santri-santri yang lain, yang ikut makan satu wadah dengannya, hal ini tentu harus kita perjelas terlebih dahulu melalui kacamata agama dan secara psikologis.
salah satu dari santri-santri itu kepada santri-santri yang lain, yang ikut makan satu wadah dengannya, hal ini tentu harus kita perjelas terlebih dahulu melalui kacamata agama dan secara psikologis.
2.
Hadith Nabi
Rasulullah
saw bersabda[1]
:
عن وَحشْيِّ بن حَربٍ عنْ اَبِيهِ عن
جدّهِ قال : قالوُا : يَا رسُولَ الله ، اِنّا نأكلُ ولا نَشبعُ؟ قال : تَجتمِعُونَ
على طعامِكُمْ او تتفرَّقُون ؟ قالوا : نَتَفَرَّقُ، قال : اجتمعوا على طَعَامِكم،
واذكروا اسم الله، يُبَارَكْ لكم فِيهِ
“Dari Wahsyi bin Harb dari
bapaknya dari kakeknya, “Sesungguhnya para sahabat Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam pernah mengadu, wahai Rasulullah sesungguhnya kami makan
namun tidak merasa kenyang. Nabi bersabda, “Mungkin kalian makan
sendiri-sendiri?” “Betul”, kata para sahabat. Nabi lantas bersabda, “Makanlah
bersama-sama dan sebutlah nama Allah sebelumnya tentu makanan tersebut akan
diberkahi.” (HR. Abu Daud, Ibnu Majah dan dinilai shahih oleh Ibnu
Hibban)
Diriwayatkan dalam Shahih al-Bukhari
dan Shahih Muslim dari Abu Hurairah Radhiyallahu anhu, ia berkata: “Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda[2] :
طَعَامُ اْلإِثْنَيْنِ كَافِي الثَّلاَثَةَ، وَطَعَامُ الثَّلاَثَةَ
كَافِي اْلأَرْبَعَةَ
“Makanan dua orang cukup untuk tiga dan makanan untuk tiga orang
mencukupi untuk empat orang”
Dalam riwayat
lain dari Muslim dari Jabir bin ‘Abdillah Radhiyallahu anhu[3] :
طَعَامُ الْوَاحِدِ يَكْفِي اْلإِثْنَيْنِ، وَالطَّعَامُ
اْلإِثْنَيْنِ يَكْفِي اْلأَرْبَعَةَ، وَالطَّعَامُ اْلأَرْبَعَةَ يَكْفِي
الثَّمَانِيَةَ
“Makanan
satu orang mencukupi dua orang, makanan dua orang mencukupi empat orang dan
makanan empat orang mencukupi delapan orang”
3.
Penjelasan
Di antara etika makan yang diajarkan
oleh Rasulullah saw adalah makan bersama pada satu piring. Sesungguhnya hal ini
merupakan sebab turunnya keberkahan pada makanan tersebut. oleh karena itu,
semakin banyak orang yang makan maka semakin banyak pula keberkahan yang kita
dapat. Dalam Syarah Riyadhus Shalihin Jilid VII hal 231 Syaikh Utsaimin
menyatakan bahwa makan minum tidak kenyang itu memiliki beberapa sebab :
1) Tidak membaca basmalah
2) Mulai makan dari sisi atas piring
3)
Makan
sendiri-sendiri dengan piring sendiri-sendiri
Sama seperti yang terjadi persoalan dialog Nabi dengan Sahabat yang
mengeluh karena tidak kenyang setelah makan, yang salah satu faktor penyebabnya
adalah karena ia makan sendirian.
4.
Aspek Psikologis
Dunia santri dalam pesantren sangatlah unik, di dalamnya terdapat
bermacam-macam suku, adat, kultur bahkan ras yang berbeda namun saling berbaur
satu sama lain. Hal ini tentu mempunya efek yang bervariatif pula. Di semua
kegiatan pesantren bahkan sampai di dalam kamar masing-masing mereka akan merasakan
hal yang berbeda dari kebiasaan dirumah masing-masing.
Ini merupakan salah satu faktor yang bisa saja bisa berdampak
positif atau bahkan negatif, tergantung dalam hal apa mereka berbaur dengan
orang yang yang berbeda suku, adat dsb, sebagaimana dipaparkan di atas.
Tak bisa dipungkiri, salah satu kebiasaan santri sejak dahulu
sampai sekarang yang tak pernah punah ialah makan bersama, baik dalam satu
nampan atau daun pisang yang dijejer panjang atau bahkan plastik yang sobek
lebar.
Secara umun jika orang non-santri diminta untuk menilai kebiasaan
yang satu ini kemungkinan akan memeberikan pernyataan yang kurang tepat, karena
kita tahu bahwa pola makan mereka memang terlihat seperti seorang peternak yang
sedang memberi makan ayam-ayamnya. Masih mending makan bersama asal piringnya
dapat satu persatu. Tapi meski aneh dari sisi kemasannya, kebiasaan santri
makan bersama ini tetap mempunya efek yang luar bisa jika kita lihat dari mata
Psikologisnya.
Beberapa efek positif yang bisa kita dapat dari Makan Bersama ini
dari segi psikologis adalah sebagai berikut :
a.
Terjadinya
Akulturasi Budaya antar santri
Dalam proses makan bersama ini,
terjadi interaksi yang kadang sulit kita dapatkan di aktifitas yang lain, ada
temannya yang makan dengan posisi seperti ini, maka ada uapaya untuk mencoba
menirunya, dan seterusnya Sehingga dalam keadaan tersebut sangat mungkin
terjadi akulturasi budaya etnis lain oleh sebagian santri yang tergolong masih
anak-anak dan remaja karena notabene mereka masih dalam tahap pencarian
identitas.
b.
Membangun
kemampuan inter-personal pada sesama
Banyak film yang terlalu
mendramatisir secara negatif hubungan anak-anak sekolah pada moment makan siang
bersama, seperti misalnya justru selalu bertengkar ketika makan siang, dsb. Dalam
kehidupan santri makan bersama ini juga dapat membangun kembali hubungan yang
retak, atau bahkan mereka bisa memanfaatkannya untuk menyempatkan diri
berdiskusi. Karena pada hakikatnya santri juga identik dengan diskusi dimanapun
tempatnya dan kapanpun waktunya.
c.
Memperkuat
kepekaan dan kepedulian pada sesama
Dalam proses makan bersama, santri
tidak akan memulai untuk makan kecuali anggotanya sudah lengkap, meskipun agak
lama, tetap saja mereka menunggu temannya yang belum datang tersebut, atau
paling tidak mereka menyisahkan nasi serta lauk untuk teman mereka yang tidak
hadir itu. Ini merupakan efek positif dalam membangun kepedulian kepada sesama,
menjalin kekompakan dalam segala hal bahkan dari hal kecil seperti makan
bersama ini.
5.
Penutup
Kebrsamaan dalam hal baik itu sering kali membawa keberkahan bahkan
dalam hal kecil sekalipun, seperti kebiasaan santri makan bersama dalam satu
wadah ini. Kadang ada hal-hal yang tidak bisa dijangkau melalui ranah logika
itu karena masuk dalam ranah spiritual. Ini adalah adab makan yang diajarkan
oleh Rasulullah dan juga banyak manfaat jika ditelaah dari kacamata Psikologis.
Maka sewajarnya kita jangan menilai negatif suatu kebiasaan hanya karena
kemasannya yang kurang baik, sebelum kita tahu betul filosofi dan pelajaran apa
yang tersurat di dalamnya.
[1]
Al Hafidzh Syihabbuddin Ahmad bin Ali bin Hajar Al Asqalani, Targhib wa
Tarhib, (Jakarta : Pustaka Azzam,2006),hal,516
[2]
Shahih al-Bukhari (VI/200), Kitaabul Ath’imah bab Tha’aamul Waahid Yakfil
Itsnain.
[3]
Shahih Muslim (III/1630), Kitaabul Asyribah bab Fadhiilatul Mu-waasaah fith
Tha’aamil Qailil wa anna Tha’aamal Itsnain Yakfits Tsalaatsah wa Nahwa Dzaalik.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar