Selasa, 08 Oktober 2013

Psikologi : Sejarah dan aliran pada masa klasik

A.     Psikologi Dipengaruhi Oleh Filsafat

Di tengah maraknya mitologi lahirlah filsafat sebagai prestasi awal manusia dalam  mengembangkan pengetahuannya, meskipun di  masa itu hasil pemikiran masih sederhana dan bersifat umum. Mulai dari masa filsafat ini berkembanglah ilmu pengetahuan sebagaimana yang ada sekarang. Maka dari itu filsafat disebut sebagai mater scientarium (induk segala ilmu).[1]
Manusia sebagai makhluk hidup juga merupakan
objek dari filsafat yang antara lain membicarakan soal hakikat kodrat manusia, tujuan hidup, dan sebagainya. Sekalipun psikologi pada akhirnya memisahkan diri dari filsafat, karena metode yang ditempuh sebagai sebabnya, tetapi psikologi masih tetap mempunyai hubungan dengan filsafat.[2]
Psikologi memisahkan diri dan menjadi sebuah disiplin ilmu tepatnya pada tahun 1879  setelahnya Wilhem Wundt membuka secara resmi sebuah labolatorium psikologi pertama di dunia yang kemudian berkembang menjadi “Institut Psikologi Eksperimental” pada tahun 1894 di Leipzig dan juga merupakan institusi pertama di dunia.[3]

1.      Socrates (469-399 SM)[4]

Pandangan Socrates yang terpenting adalah bahwa pada diri setiap manusia terpendam jawaban mengenai berbagai persoalan dalam dunia nyata. Karena itu setiap orang sesungguhnya bisa menjawab semua persoalan yang dihadapinya. Masalahnya adalah pada orang itu sendiri, kebanyakan mereka tidak menyadari bahwa dalam dirinya terpendam jawaban bagi persoalan yang dihadapinya. Karena itu menurut Socrates perlu ada orang lain yang ikut mendorong ide-ide yang masih terpendam itu. Maka pekerjaan Socrates sehari-hari adalah berjalan-jalan di tengah kota, berkeliling di pasar-pasar untuk berbicara dengan orang yang dijumpainya untuk menggali jawaban yang terpendam mengenai berbagai persoalan. Metodenya ini kemudian disebut Socratic Method yang memiliki pengertian Maieutics (menarik ke luar seperti yang dilakukan bidan). Pengertian tentang diri sendiri ini menurut Socrates sangat penting untuk setiap individu. Adalah kewajiban setiap individu untuk mengetahui dirinya sendiri terlebih dahulu kalau ingin mengetahui hal-hal lain di luar dirinya.
Maieutics ini pada tahun 1943 dikembangkan oleh Carl R. Rogers menjadi teknik dalam psikoterapi yang disebut teknik Non-Direktif, di mana psikolog atau psikoterapis berusaha menggali persoalan-persoalan pasien sedemikian rupa sehingga pasien menyadari sendiri persoalan-persoalannya itu tanpa terlalu diarahkan oleh psikolog atau psikoterapis.

2.      Plato (427-347 SM)[5]

Dia adalah penganut dualisme yang mengatakan bahwa dunia kejiwaan berisi ide-ide yang berdiri sendiri. Hal ini terutama terjadi pada kaum dewasa dan intelektuil yang dapat membedakan antara jiwa dan badan. Berbeda dengan anak-anak yang menganggap jiwa dan badan adalah sama. Kemudian Plato membagi jiwa menjadi tiga bagian;
a.      Berpikir, berpusat pada otak dan disebut logisticon
b.      Berkehendak, berpusat di dada dan disebut thumeticon
c.       Berkeinginan, berpusat di perut dan disebut abdomen
Pembagian ini disebut Thricotomi dari Plato. Selanjutnya pembagian psyche (jiwa) ke dalam tiga bagian itu ada hubungannya dengan pembagian kelas masyarakat, sebagaimana berikut ;
a.    Filsuf, yang mempunyai fungsi berfikir di masyarakat.
b.   Serdadu, yang mempunyai fungsi berperang untuk memenuhi dorongan dan kehendak masyarakat.
c. Pekerja, yang fungsinya bekerja untuk memenuhi keinginan masyarakat dalam memenuhi kebutuhan sehari-harinya.
Menurut Plato dari ketiga bagian itu yang terpenting adalah fungsi berfikir. Keadaan jiwa seseorang dan arah perkembangannya dipengaruhi oleh fungsi berfikir orang yang bersangkutan. Dalam masyarakat pun para filsuflah yang paling berpengaruh. Karena pahamnya itu Plato sering disebut seorang rasionalis yang lebih mementingkan rasio.
Selain itu faham Plato yang lainnya adalah bahwa setiap orang sudah ditetapkan sejak lahirnya satus atau kedudukannya dalam masyarakat. Apakah dia akan menjadi filsuf, serdadu, atau pekerja. Paham ini disebut “determinisme” atau “nativisme”. Maka ia percaya bahwa tiap orang dilahirkan dengan kekhususan sendiri, manusia dilahirkan tidak sama, sehingga Plato adalah pemula dari paham individual difference, yaitu paham yang menyatakan bahwa manusia itu bebeda dengan manusia lainnya.


3.      Aristoteles (384-322 SM)[6]

Walaupun dia adalah murid Plato, namun dia memiliki paham tersendiri. Dia berpendapat bahwa segala sesuatu yang berbentuk kejiawaan (form) harus menempati suatu wujud tertentu (matter). Dan wujud ini merupakan ekspresi dari jiwa. Hanya Tuhanlah satu-satunya hal yang tanpa wujud. Dengan pahamnya ini Aristoteles dikenal sebagai penganut paham empirisme, karena segala sesuatu harus bertolak dari realita.
Mengenai hal psikologi, Aristoteles berpendapat bahwa setiap benda mempunyai dorongan untuk tumbuh dan menjadi sesuatu sesuai dengan tujuan yang sudah terkandung dalam benda itu sendiri. Sebutir jagung misalnya, mempunyai tujuan dan dorongan untuk menjadi pohon jagung. Dengan demikian kalau biji itu ditanam dan dipelihara dengan baik maka biji itu akan menjadi pohon jagung. Dengan pahamnya ini Aristoteles dikenal juga sebagai penganut paham “teleologis” (telos=tujuan). Selanjutnya dia membedakan apa yang disebutnya “hule” dan “morphe”. Hule adalah yang terbentuk dan morphe adalah yang membentuk. Benda dalam alam tidak tumbuh berkembang begitu saja, melainkan dikembangkan menjadi sesuatu. Maka, sebelum benda itu terwujud, benda itu berupa kemungkinan.          

4.      Rene Descrates (1596-1960)[7]

Konsepnya tentang psikologi bahwa psikologi adalah ilmu yang mempelajari kesadaran. Jadi kesadaran adalah faktor yang paling menentukan dalam psikologinya. Karena itu hingga saat ini aliran psikologi yang mementingkan kesadaran disebut juga psikologi CARTIAN.
Ia menerangkan tingkah laku hewan dalam prinsip mekanistis. Dia mengemukakan konsep “reflex arc” untuk menerangkan semua tingkah laku pada hewan dan sebagian besar pada manusia. Berdasarkan prinsip ini hewan dan sering kali juga manusia bereaksi terhadap rangsangan yang datang dari lingkungan.  Suatu rangsangan yang datang dari lingkungan diterima oleh alat indera dan disalurkan melalui saluran syaraf tertentu ke otak dan otak mengolah impuls yang masuk itu kemudian memberi instruksi kepada otot anggota tubuh melalui saluran syaraf pula agar anggota tubuh itu membuat gerakan-gerakan yang sudah ditentukan untuk merespon rangsangan tersebut.
Pada awal abad XX, J.B. Watson seorang sarjana Amerika Serikat yang juga menganut konsep reflex arc ini mempercayai bahwa segala tingkah laku manusia sebenarnya tidak lain dari jalinan reflex ini belaka. Tetapi Descrates sendiri pada masanya tidak berpikiran seekstrim itu. Justru ia berpendapat bahwa tigkah laku manusia berbeda dari tingkah laku hewan. Meskipun manusia juga tunduk pada prinsip mekanistis, namun manusia mempunyai kebebasan memilih. Dan kebebasan memilih inilah yang tidak ada pada hewan. Dengan kebebasan memilihnya ini maka manusia dapat melakukan tingkah laku yang mandiri “self initiate behaviour”, dan hewan dalam tingkah lakunya selalu tergantung pada situasi atau rangsangan yang datang dari lingkungan. Dalam memilih tingkah lakunya, manusia menggunakan akalnya. Demikianlah pendapat Descrates yang juga penganut rasionalis dengan ucapannya yang terkenal “Cogito Ergo Sum”, saya berfikir maka saya ada.
Teori lain yang diajukan Descrates adalah mengenai hubungan antara badan dan jiwa yang disebut “interaksionalisme”. Yaitu bahwa ada hubungan antara badan dan jiwa di suatu tempat tertentu dan menuruna ini adalah kelenjar pinealis (sebuah kelenjar berbentuk kerucut sebesar biji kacang yang terletak dalam otak), karena kelenjar itu merupakan satu-satunya kelenjar tunggal dan kelenjar lain selalu berpasangan.

B.     Psikologi Dipengaruhi Oleh Ilmu Pengetahuan

Perkembangan psikologi berangsur-angsur melepaskan diri dari corak pemikiran filsafat dan mengalami perkembangan pesat. Pesatnya itu ditandai dengan menonjolnya pengaruh ilmu pengetahuan alam terhadap psikologi sebelum abad ke-20.[8] Pengaruh tersebut terjadi baik secara tak langsung maupun secara langsung, baik metode penyelidikannya, maupun materi pandangannya. Hal ini akan lebih nampak jelas dalam bahasan sebagian aliran psikologi yang muncul pada zaman itu[9]
Dan merupakan suatu kenyataan karena pengaruh ilmu pengetahuan alam, psikologi dapat diakui sebagai suatu ilmu yan berdiri sendiri terlepas dari filsafat, walaupun akhirnya ternyata bahwa metode ilmu pengetahuan alam kurang mungkin digunakan seluruhnya terhadap psikologi, desebabkan perbedaan dalam obyeknya. Ilmu pengetahuan alam berobyekkan benda-benda mati, sedangkan psikologi berobyekkan manusia yang hidup, sebagai makhluk yang dianamik, makhluk berkebudayaan, makhluk yang berkembang dan dapat berubah setiap saat.[10]

1.      Psikologi Assosiasi

Aliran assosiasi merupakan pengembangan dari empirisme pada masa Renaisans yang menguatkan studi tentang manusia. Aliran aasosiasi merupakan bagian dari psikologi kontemporer abad 19 yang mempercayai bahwa proses psikologi pada dasarnya adalah “assosiasi ide”. Awal mula munculnya aliran asosiasi ini yaitu barawal dari pemikiran tentang hukum-hukum asosiasi misalnya continguity dan similarity (John Locke, George Berkeley, David Hume) dan cause-effect (David Hume) oleh penganut paham empirisme. Awal mula berkembangnya aliran assosiasi yaitu dipelopori oleh James Mill yang pendapatnya disetujui oleh John Locke.
 Adapun tokoh-tokoh dari aliran assosiasi ini ialah sebagai berikut :
a.   James Mill (1773-1836). Pandangan Mill tidak jauh berbeda dengan John Locke tentag  ide, hanya disini Mill membedakan antara peginderaan (sensation) dan ide. Penginderaan adalah hasil kontak langsung alat indera manusia dengan  rangsangan-rangsangan yang ddatang dari luar dirinya. Ide adalah semacam salinan atau copy dari penginderaan itu yang muncul dalam ingatan seseorang.
b.   John Stuart Mill (1806-18730). Dia adalah seorang filsuf, ekonom, dan  putra James Mill yang merupakan seorang sejarawan, filsuf dan psikolog. Karena latar belakang dan pendidikan ayahnya, ia pun tertarik untuk mempelajari filsafat dan psikologi. John Stuart Mill seperti ahli-ahli terdahulu juga banyak mempelajari persepsi dan ide. Ia menerima pendapat dari para ahli sebelumnya bahwa persepsi dan ide (idea) adalah elemen-elemen yang sistematis dari jiwa. Pelbagai elemen itu saling dihubungkan satu dengan yang lainnya melalui asosiasi.[11]

2.      Psikologi Unsur (Element).

Psikologi Unsur sebenarnya dapat dianggap nama lain dari Psikologi Assosiasi, karena dalam bentuk pendapat-pemdapatnya masih bercorak assosiatif juaga. Namun, meskipun demikian karena titik tekan Psikologi Unsur ini pada anggapan bahwa jiwa merupakan kumpulan dari unsur-unsur kejiwaan yang berdiri sendiri, maka beberapa ahli menggolongkannya sebagai Psikologi Unsur yang berciri sendiri.
Adapun tokoh-tokoh aliran ini ialah John Fridrische Harbart dan Herbart Spencer. Herbart Spencer (abad 19), adalah seorang psikologi dan pendidikan Jerman yang menyelidiki psikologi dengan metode-metode analitis-sintesis. Ia berpendapat bahwa jiwa terbentuk karena adanya tanggapan-tanggapan, karena itu teori ini juga seirng disebut juga Teori Tanggapan. Hasil dari analisa dan sintesisnya, Herbart menemukan pendapat bahwa jiwa terdiri atas 2 lapisan, yaitu jiwa yang disadari dan jiwa yang tidak disadari. Pada batas antara keduanya terdapat ambang kesadaran.

3.      Psikologi Fisiologi

Psikologi Fisiologi merupakan aliran psikologi lain yang juga dipengaruhi oleh ilmu pengetahuan alam. Dikatakan sebagai aliran Fisiologi, sebab pendapat-pendapatnya lebih berat didasarkan pada adanya kekuatan khusus dari indera. Hal mana merupakan bidang yanh banyak dipelajari oleh Fisiologi.
Menurut fisiologi, manusia dapat melihat sesuatu karena adanya cahaya yang masuk kedalalm mata, lalu cahaya tersebut diterima oleh bintik-bintik kuning dalam mata. Kemudian rangsangan cahaya tersebut diteruskan kedalama otak melalui syaraf-syaraf mata, yang akhirnya menimbulkan kesadaran oenglihatan. Dengan menggunakan metode seperti metode penyelidikan ilmu pengetahuan alam, Johannes Muller telah berhasil menemukan hukum kekuatan khusus indera. Rumusannya antara lain mengatakan bahwa masing-masing tanggapan menyebabkan timbulnya kekuatan atau reaksi yang khusus terhadap jenis tanggapan yang diterima melalui indera tersebut.
Tokoh lain, Weber dan Fechner (Jerman) mendapatkan hukum yang berhubungan dengan kesadaran penginderaan manusia, yang dikenal dengan “Hukum Weber Fechner”. Helmholz, juga seorang tokoh aliran ini, menemukan kecepatan rangsang melalui urat syaraf ialah 24 meter dalam setiap detik.




Daftar Pustaka


Ahmadi, Abu. 1998. Psikologi Umum, Jakarta : PT Rineka Cipta
Boeree, C. George, 2000. Sejarah Psikologi, Yogyakarta : Prismasophie
Dakir. 1993. Dasar-dasar Psikologi, Yogyakarta: Pustaka Pelajar   
Faisal, Sanapiah. 1986. Dimensi-dimensi Psikologi, Surabaya : Usaha Nasional
Sarwono, Sarlito Wirawan, 1998. Berkenalan dengan Aliran-Aliran dan Tokoh-Tokoh Psikologi, Jakarta : Bulan Bintang
Sobur, Alex. 2003. Psikologi Umum. Bandung: Pustaka Setia         
Tim Penyusun MKD IAIN Sunan Ampel, 2012. Pengantar Filsafat, Surabaya : IAINSA Press
Walgito, Bimo, 2010. Pengantar Psikologi Umum, Yogyakarta : Andi Offset


[1] Tim Penyusun MKD IAIN Sunan Ampel, Pengantar Filsafat, Surabaya : IAINSA Press, 2012, hal. 2
[2] Bimo Walgito, Pengantar Psikologi Umum, Yogyakarta : ANDI OFFSET, 2010, hal. 22
[3] C. George Boeree, Sejarah Psikologi, Yogyakarta : Prismasophie, 2000, hal. 292
[4] Sarlito Wirawan Sarwono, Berkenalan dengan Aliran-Aliran dan Tokoh-Tokoh Psikologi, Jakarta : Bulan Bintang, 1998, hal. 30-32
[5] Sarlito Wirawan Sarwono, hal. 32-34
[6] Sarlito Wirawan Sarwono, hal. 34-36
[7] Sarlito Wirawan Sarwono, hal. 41-43
[8] Prof. Drs. Dakir, Dasar-dasar Psikologi, Yogyakarta: Pustaka Pelajar,1993, hal 13
[9] Drs. Sanapiah Faisal, Dimensi-dimensi Psikologi, Surabaya : Usaha Nasional, 1986, hal 18
[10] Drs. H. Abu Ahmadi, Psikologi Umum, Jakarta : PT Rineka Cipta, 1998, hal 28
[11] Drs. Alex Sobur, M.Si, Psikologi Umum,Bandung: Pustaka setia,2003, hal. 33
[12] Drs. Sanapiah Faisal, Dimensi-dimensi Psikologi, Surabaya : Usaha Nasional, 1986, hal 23

Tidak ada komentar:

Posting Komentar