Pada pembentukkan manusia terdapat unsur dasar tertentu yang
menentukan sifat-sifat asalnya bermula semua tindakan jasmani dan
kualitas-kualitas mentalnya.[1]
Berikut ini pemaparan mengenai unsur – unsur pembentukkan manusia dalam buku Ihya
‘Ulumuddin, yang Kami nukil dari Prof. Dr. Hasan Langgulung dalam bukunya
“Teori – Teori Kesehatan Mental” :
1.
Unsur mencari jalan, di mana badan
sebagai alat bagi ruh akan tetap sehat dan umat manusia akan tetap kekal,
karena ia bertanggung jawab terhadap kualitas kehewanan yang ada pada manusia
(makan, tidur, dan jima’)
2.
Kebuasan (sab’iyah) yaitu
sifat marah (ghadzab), tujuannya adalah untuk menjaga dari segala yang
dapat mencederai manusia. Oleh karena itu, manusia memiliki kualitas – kuliatas
dan tindakan – tindakan daripada hewan – hewan yang ganas (cemburu, ganas dan
suka bercekcok)
3.
Unsur jahat (syaitania) yang
terdiri dari pengggunaan pembedaan untuk menyelidi cara – cara kejahatan, dan
memuaskan marah nafsu melalui tipuan dan kebohongan . Sehingga ia bertangggung
jawab terhadap amal – amal dan kualitas – kualitas manusia (kejahatan,
kesombongan, dan lain – lain).
4.
Penjelamaan unsur ke Tuhanan (rabbaniyyah)
yaitu sumber kualitas – kualitas suka kepada pujian, kekuasaan, dan
pengetahuan terhadap berbagai ilmu.
Jika tidak dipelihara, Kedua unsur yang pertama ini dapat
menyebabkan kehancuran akhlak manusia. Menurut tradisi falsafah, Al – Ghazali
membuktikan bahwa akal adalah inti manusia, di mana inti sesuatu benda adalah
sesuatu yang istimewa baginya. Hal teristimewa bagi manusia adalah akal,
sehingga dialah sifat – sifat asal yang pokok.
Mengenai keimanan antara keimanan kepada Tuhan dengan dan
pengalaman ajaran-Nya dengan kesehatan mental, dalam al-Qur’an banyak ayat yang
menunjukkan bahwa untuk mencapai insan kamil harus benar-benar dapat sinergis
antara agama dan kehidupan. Sebagaimana hal di bawah ini:[2]
1.
Surat At-Tiin mengisyaratkan bahwa “manusia
akan mengalami kehidupan yang hina atau jatuh martabatnya termasuk juga
psikologis yang tidak nyaman(mentalnya tidak sehat), kecuali orang – orang
beriman dan beramal sholeh (berbuat kebajikan). Begitu juga dengan surat Al –
‘Asr yang mengatakan bahwa “semua manusia itu merugi, kecuali orang – orang
yang beriman, beramal shaleh dan saling mewasiati dengan kebenaran dan
kesabaran
2.
Surat Ar-Ra’du ayat 28, seperti
yang telah Kami sedikit uraikan dalam subbab sebelumnya bahwa hati seseorang
akan menjadi tentram dengan berdzikir. Maka dari makna dzikir tersebut tidak
lain tidak bukan adalah dengan menegakkan sholat. Menurut Sentot Haryanto
(2001) shalat mengandung aspek – aspek psikologis yang dapat mengembangkan
mental yang sehat.[3]
Semua gerakan sholat adalah gerakan untuk kesehatan.Bahkan, shalat tidak hanya
, menjaga kesehatan, tapi juga mengembalikan hidup sehat dari berbagai macam
penyakit.[4]
Aspek – aspek
tersebut, antara lain:
a.
Aspek olahraga, gerakan sholat
memberikan efek kepada jasmaniah dan rohaniah
b.
Aspek relaksasi otot, dapat
mengurangi kecemasan dan insomnia, mengurangi hiper aktivitasterhadap anak,
mengurangi toleransi sakit dan membantu mengurangi merokok bagi mereka yang
ingin berhenti merokok
c.
Aspek relaksasi, kesadaran indera
karena pada saat shalat seolah – olah terbang ke atas (ruh) mengahadap ke Allah
secara langsung tanpa ada perantara
d.
Aspek meditasi, ini bisa terbukti
jikalau kita mampu menjalankannya dengan benar dan khusyuk
e.
Aspek auto sugesti, yaitu upaya
untuk membimbing diri sendiri melalui proses pengulangan rangakaina kata secara
rahasia kepada diri sendiri, yang menyatakan suatu keyakinan dan perbuatan
f.
Aspek penyaluran (katarsis) dan
pengakuan merupakan sarana berkomunikasi kepada Allah secara langsung
g.
Sarana pembentukkan kepribadian,
melalui shalat secara tidak langsung telah mengajari kita tentang kedisplinan,
bekerja keras, mencintai kedamaian, bertutur kata yang baik dan berpribadi “Allahuakbar”,
serta
h.
Terapi air, yakni adalah wudhu yang
dilakukan sebelum sholat. Menurut Prof. Ali Aziz (2013) wudhu adalah sarana
pembersihan jiwa yang dimulai dari bagian yang paling luar dari tubuh samapai
bagia yang paling dalam yakni rohani kita. Karena dengannya memiliki efek refreshing,
penyegaran, memebersihkan badan dan jiwa serta pemulihan tenaga.
3.
Surat Al – Baqarah : 112
Artinya : (Tidak demikian) bahkan barangsiapa
yang menyerahkan diri kepada Allah, sedang ia berbuat kebajikan, Maka baginya
pahala pada sisi Tuhannya dan tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak
(pula) mereka bersedih hati.
4.
Surat Al – Ahqof : 13
Artinya:
“Sesungguhnya orang-orang yang mengatakan: "Tuhan kami ialah
Allah", Kemudian mereka tetap istiqamah[1388] Maka tidak ada kekhawatiran
terhadap mereka dan mereka tiada (pula) berduka cita.
5.
Surat Al – Israa’ : 82
Artinya: “Dan
kami turunkan dari Al Quran suatu yang menjadi penawar dan rahmat bagi
orang-orang yang beriman dan Al Quran itu tidaklah menambah kepada orang-orang
yang zalim selain kerugian.
Dari sekian
uraian di atas telah menegaskan bahwa agama sangat memperhatikan kesehatan
umatnya, baik kesehatan fisik dan psikis, maupun jasmani maupun rohaninya.
Sehingga pendidikan maupun pengetahuan tentang agama haruslah ditanamkan dan
diperkenalkan sejak dini kepada anak – anak.
Lebih dari itu,
dengan kuatnya nilai agama dan optimalnya kesehatan kita maka akan mampu
menciptakan kehidupan nan sejahtera. Kehidupan yang sejahtera adalah
terpenuhinya segala macam kebutuhan hidup, baik lahir maupun batin dengan
berpedoman pada al – Qur’an dan sunnah Rasul sebagai pijakan hidup umat
manusia, agar manusia selamat hidupnya baik di dunia maupun di akhiratnya,
inilah menjadi tujuan akhir hidup manusia.[5]
Berikut ini
Kami uraikan sekilas studi kasus tentang kesehatan mental dari koran Kompas,
edisi Kamis 14 Februari 2014 yang berjudul “Jiwa Bocah Lucu Itu Direnggut
Ibunya Sendiri”
Kisah ini
bermula dari perceraian Muhammad (35) dan Aryanti (30) dengan meninggalkan anak
semata wayangnya Alfa Huda (2). Meskipun telah bercerai tapi kontak hubungan
antara keduanya masih tersambung, karena jarak rumah mereka hanya 100 m. Sang
anak diasuh oleh ayahnya, dikarenakan sang mantan istri disinyalir mengalami
gangguan jiwa. Sehingga dikhawatirkan akan membahayakan sang anak ketika berada
diasuhan ibunya. Pagi itu tak seperti biasanya, Aryanti ingin sekali bertemu
dengan anak yang pernah dilahirkannya. Biasanya Muhammad begitu melarang
anaknya diasuhan Aryanti, namun entah kenapa ia membiarkan anaknya dibawa
mantan istrinya.
Tiba
– tiba Aryanti membawa anak semata wayangnya ke puskesmas dengan alasan terkena
flu. Namun tanpa diduga ia keluar dari arah belakang puskesmas dalam keadaan
basah kuyup. Setelah diselidiki oleh salah seorang petugas, ternyata batita
mungil itu sudah tak bernyawa. Ketika ditanya oleh pihak berwenang
jawabannyapun tidak konsisten, sehingga dari sinilah menimbulkan kecurigaan
bahwa ada yang menganggu jiwa Aryanti, sehingga untuk memeriksa dihadirkan
psikiater juga.
Dari
sekilas kronologi di atas, maka dapat ditarik benang biru bahwa dalam diri
Aryanti terdapat gangguan jiwa yang berimbas pada kesehatan mentalnya tidak
sehat. Secara garis besardan populer dapat dikemukakan bahwa orang yang
mentalnya sehat adalah orang yang sanggup berkembang secara wajar dan berfungsi
dengan baik. Ia sanggup menjalankan tugasnya sehari – hari sebagaimana
mestinya.[6]
Sedangkan Aryanti tak mampu menjalani tugasnya sebagai seorang ibu yang
seharusnya menganyomi anaknya dengan kasih sayang, namun ia malah dengan begitu
teganya merenggut nyawa buah hati yang sedang lucu – lucunya tersebut.
Ditinjau
dari segi agama, Aryanti tergolong sebagaiorang yang kehilangan ketentraman
batin yang merupakan salah satu penyebab gangguan dan penyakit jiwa. Maka,
Allah Al – Qur’an menyuruh orang menetramkan batinnya dengan mengingat Allah,
QS. Ar – Ra’du: 28
Artinya
: “Ingatlah, Hanya dengan mengingati Allah-lah hati menjadi tenteram.”
Kehilangan
ketentraman batin itu, ada yang disebabkan oleh ketidakmampuan menyesuaikan
diri, kegagalan, tekanan perasaan baik yang terjadi di rumah tangga, di kantor
ataupun dalam masyarakat.[7]
[1] Hasan
Langgulung, Teori – teori Kesehatan Mental (Jakarta, Pustaka Al Husna
1986) h. 375
[2] Yusria
Ningsih, Kesehatan Mental. h. 77
[3] Ibid. h. 78
[4] Ali Aziz,
60 Menit Terapi Shalat Bahagia. h. 191
[5] Faizah Noer
Laela, Bimbingan Konseling Sosial (Surabaya, UIN Sunan Ampel Press,
2014) h. 110
[6] Dede Rahmat
Hidayat, Herdi, Bimbingan Konseling Kesehatan Mental di sekolah
(Bandung, Remaja Rosdakarya, 2013) h. 31-32
[7] Zakiah
Daradjat, Pendidikan Agama Dalam Kesehatan Mental. h. 103
Tidak ada komentar:
Posting Komentar