Kamis, 15 Mei 2014

Hubungan Insan Kamil dan Kesehatan Mental




Pada pembentukkan manusia terdapat unsur dasar tertentu yang menentukan sifat-sifat asalnya bermula semua tindakan jasmani dan kualitas-kualitas mentalnya.[1] Berikut ini pemaparan mengenai unsur – unsur pembentukkan manusia dalam buku Ihya ‘Ulumuddin, yang Kami nukil dari Prof. Dr. Hasan Langgulung dalam bukunya “Teori – Teori Kesehatan Mental” :

1.      Unsur mencari jalan, di mana badan sebagai alat bagi ruh akan tetap sehat dan umat manusia akan tetap kekal, karena ia bertanggung jawab terhadap kualitas kehewanan yang ada pada manusia (makan, tidur, dan jima’)
2.      Kebuasan (sab’iyah) yaitu sifat marah (ghadzab), tujuannya adalah untuk menjaga dari segala yang dapat mencederai manusia. Oleh karena itu, manusia memiliki kualitas – kuliatas dan tindakan – tindakan daripada hewan – hewan yang ganas (cemburu, ganas dan suka bercekcok)
3.      Unsur jahat (syaitania) yang terdiri dari pengggunaan pembedaan untuk menyelidi cara – cara kejahatan, dan memuaskan marah nafsu melalui tipuan dan kebohongan . Sehingga ia bertangggung jawab terhadap amal – amal dan kualitas – kualitas manusia (kejahatan, kesombongan, dan lain – lain).
4.      Penjelamaan unsur ke Tuhanan (rabbaniyyah) yaitu sumber kualitas – kualitas suka kepada pujian, kekuasaan, dan pengetahuan terhadap berbagai ilmu.
Jika tidak dipelihara, Kedua unsur yang pertama ini dapat menyebabkan kehancuran akhlak manusia. Menurut tradisi falsafah, Al – Ghazali membuktikan bahwa akal adalah inti manusia, di mana inti sesuatu benda adalah sesuatu yang istimewa baginya. Hal teristimewa bagi manusia adalah akal, sehingga dialah sifat – sifat asal yang pokok.
Mengenai keimanan antara keimanan kepada Tuhan dengan dan pengalaman ajaran-Nya dengan kesehatan mental, dalam al-Qur’an banyak ayat yang menunjukkan bahwa untuk mencapai insan kamil harus benar-benar dapat sinergis antara agama dan kehidupan. Sebagaimana hal di bawah ini:[2]
1.      Surat At-Tiin mengisyaratkan bahwa “manusia akan mengalami kehidupan yang hina atau jatuh martabatnya termasuk juga psikologis yang tidak nyaman(mentalnya tidak sehat), kecuali orang – orang beriman dan beramal sholeh (berbuat kebajikan). Begitu juga dengan surat Al – ‘Asr yang mengatakan bahwa “semua manusia itu merugi, kecuali orang – orang yang beriman, beramal shaleh dan saling mewasiati dengan kebenaran dan kesabaran
2.      Surat Ar-Ra’du ayat 28, seperti yang telah Kami sedikit uraikan dalam subbab sebelumnya bahwa hati seseorang akan menjadi tentram dengan berdzikir. Maka dari makna dzikir tersebut tidak lain tidak bukan adalah dengan menegakkan sholat. Menurut Sentot Haryanto (2001) shalat mengandung aspek – aspek psikologis yang dapat mengembangkan mental yang sehat.[3] Semua gerakan sholat adalah gerakan untuk kesehatan.Bahkan, shalat tidak hanya , menjaga kesehatan, tapi juga mengembalikan hidup sehat dari berbagai macam penyakit.[4]
Aspek – aspek tersebut, antara lain:
a.    Aspek olahraga, gerakan sholat memberikan efek kepada jasmaniah dan rohaniah
b.   Aspek relaksasi otot, dapat mengurangi kecemasan dan insomnia, mengurangi hiper aktivitasterhadap anak, mengurangi toleransi sakit dan membantu mengurangi merokok bagi mereka yang ingin berhenti merokok
c.    Aspek relaksasi, kesadaran indera karena pada saat shalat seolah – olah terbang ke atas (ruh) mengahadap ke Allah secara langsung tanpa ada perantara
d.   Aspek meditasi, ini bisa terbukti jikalau kita mampu menjalankannya dengan benar dan khusyuk
e.    Aspek auto sugesti, yaitu upaya untuk membimbing diri sendiri melalui proses pengulangan rangakaina kata secara rahasia kepada diri sendiri, yang menyatakan suatu keyakinan dan perbuatan
f.    Aspek penyaluran (katarsis) dan pengakuan merupakan sarana berkomunikasi kepada Allah secara langsung
g.   Sarana pembentukkan kepribadian, melalui shalat secara tidak langsung telah mengajari kita tentang kedisplinan, bekerja keras, mencintai kedamaian, bertutur kata yang baik dan berpribadi “Allahuakbar”, serta
h.   Terapi air, yakni adalah wudhu yang dilakukan sebelum sholat. Menurut Prof. Ali Aziz (2013) wudhu adalah sarana pembersihan jiwa yang dimulai dari bagian yang paling luar dari tubuh samapai bagia yang paling dalam yakni rohani kita. Karena dengannya memiliki efek refreshing, penyegaran, memebersihkan badan dan jiwa serta pemulihan tenaga.
3.      Surat Al – Baqarah : 112
Artinya : (Tidak demikian) bahkan barangsiapa yang menyerahkan diri kepada Allah, sedang ia berbuat kebajikan, Maka baginya pahala pada sisi Tuhannya dan tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak (pula) mereka bersedih hati.
4.      Surat Al – Ahqof : 13
Artinya: “Sesungguhnya orang-orang yang mengatakan: "Tuhan kami ialah Allah", Kemudian mereka tetap istiqamah[1388] Maka tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan mereka tiada (pula) berduka cita.
5.      Surat Al – Israa’ : 82
Artinya: “Dan kami turunkan dari Al Quran suatu yang menjadi penawar dan rahmat bagi orang-orang yang beriman dan Al Quran itu tidaklah menambah kepada orang-orang yang zalim selain kerugian.
Dari sekian uraian di atas telah menegaskan bahwa agama sangat memperhatikan kesehatan umatnya, baik kesehatan fisik dan psikis, maupun jasmani maupun rohaninya. Sehingga pendidikan maupun pengetahuan tentang agama haruslah ditanamkan dan diperkenalkan sejak dini kepada anak – anak.
Lebih dari itu, dengan kuatnya nilai agama dan optimalnya kesehatan kita maka akan mampu menciptakan kehidupan nan sejahtera. Kehidupan yang sejahtera adalah terpenuhinya segala macam kebutuhan hidup, baik lahir maupun batin dengan berpedoman pada al – Qur’an dan sunnah Rasul sebagai pijakan hidup umat manusia, agar manusia selamat hidupnya baik di dunia maupun di akhiratnya, inilah menjadi tujuan akhir hidup manusia.[5]
Berikut ini Kami uraikan sekilas studi kasus tentang kesehatan mental dari koran Kompas, edisi Kamis 14 Februari 2014 yang berjudul “Jiwa Bocah Lucu Itu Direnggut Ibunya Sendiri”
Kisah ini bermula dari perceraian Muhammad (35) dan Aryanti (30) dengan meninggalkan anak semata wayangnya Alfa Huda (2). Meskipun telah bercerai tapi kontak hubungan antara keduanya masih tersambung, karena jarak rumah mereka hanya 100 m. Sang anak diasuh oleh ayahnya, dikarenakan sang mantan istri disinyalir mengalami gangguan jiwa. Sehingga dikhawatirkan akan membahayakan sang anak ketika berada diasuhan ibunya. Pagi itu tak seperti biasanya, Aryanti ingin sekali bertemu dengan anak yang pernah dilahirkannya. Biasanya Muhammad begitu melarang anaknya diasuhan Aryanti, namun entah kenapa ia membiarkan anaknya dibawa mantan istrinya. 
Tiba – tiba Aryanti membawa anak semata wayangnya ke puskesmas dengan alasan terkena flu. Namun tanpa diduga ia keluar dari arah belakang puskesmas dalam keadaan basah kuyup. Setelah diselidiki oleh salah seorang petugas, ternyata batita mungil itu sudah tak bernyawa. Ketika ditanya oleh pihak berwenang jawabannyapun tidak konsisten, sehingga dari sinilah menimbulkan kecurigaan bahwa ada yang menganggu jiwa Aryanti, sehingga untuk memeriksa dihadirkan psikiater juga.
Dari sekilas kronologi di atas, maka dapat ditarik benang biru bahwa dalam diri Aryanti terdapat gangguan jiwa yang berimbas pada kesehatan mentalnya tidak sehat. Secara garis besardan populer dapat dikemukakan bahwa orang yang mentalnya sehat adalah orang yang sanggup berkembang secara wajar dan berfungsi dengan baik. Ia sanggup menjalankan tugasnya sehari – hari sebagaimana mestinya.[6] Sedangkan Aryanti tak mampu menjalani tugasnya sebagai seorang ibu yang seharusnya menganyomi anaknya dengan kasih sayang, namun ia malah dengan begitu teganya merenggut nyawa buah hati yang sedang lucu – lucunya tersebut.
Ditinjau dari segi agama, Aryanti tergolong sebagaiorang yang kehilangan ketentraman batin yang merupakan salah satu penyebab gangguan dan penyakit jiwa. Maka, Allah Al – Qur’an menyuruh orang menetramkan batinnya dengan mengingat Allah, QS. Ar – Ra’du: 28
Artinya : “Ingatlah, Hanya dengan mengingati Allah-lah hati menjadi tenteram.”
Kehilangan ketentraman batin itu, ada yang disebabkan oleh ketidakmampuan menyesuaikan diri, kegagalan, tekanan perasaan baik yang terjadi di rumah tangga, di kantor ataupun dalam masyarakat.[7]


[1] Hasan Langgulung, Teori – teori Kesehatan Mental (Jakarta, Pustaka Al Husna 1986) h. 375
[2] Yusria Ningsih, Kesehatan Mental. h. 77
[3] Ibid. h. 78
[4] Ali Aziz, 60 Menit Terapi Shalat Bahagia. h. 191
[5] Faizah Noer Laela, Bimbingan Konseling Sosial (Surabaya, UIN Sunan Ampel Press, 2014) h. 110
[6] Dede Rahmat Hidayat, Herdi, Bimbingan Konseling Kesehatan Mental di sekolah (Bandung, Remaja Rosdakarya, 2013) h. 31-32
[7] Zakiah Daradjat, Pendidikan Agama Dalam Kesehatan Mental. h. 103

Tidak ada komentar:

Posting Komentar