Menurut fithrahnya, manusia adalah makhluk beragama (homo
religius), yaitu makhluk yang memiliki rasa keagamaan dan kemampuan untuk memahami
dan mengamalkan nilai-nilai agama.[1]
Dari kefitrhahan tersebut itulah yang membedakan antara manusia dengan makhluk
yang lain termasuk dengan binatang. Binatang lebih cenderung memenuhi nafsunya,
namun manusia diberi kelebihan untuk menggunakan akal pikirnya guna bertindak.
Untuk membina kesehatan mental – baik pembinaan yang berjalan
teratur sejak kecil, ataupun pembinaan yang dilakukan setelah dewasa agama
sangat penting. Seyogyanya agama masuk menjadi unsur – unsur yang menetukan
dalam konstruksi pribadi sejak kecil. Akan tetapi, apabila seseorang menjadi
remaja atau dewasa, tanpa mengenal agama, maka kegoncangan jiwa remaja akan
mendorong ke arah kelakuan – kelakuan baik.[2]
Hal tersebut sejalan dengan tujuan diciptakannya manusia untuk
beribadah kepada Allah SWT, dan sebagai pemimpin di muka bumi ini. Oleh karena
itu, agama memiliki konstribusi yang cukup berarti dalam pembentukkan mental
manusia maupun kepribadian manusia.Hal tersebut sesuai dengan firman-Nya Q.S
Adz Dzariyat : 56 tentang tujuan diciptakannya manusia untuk menyembah kepada
Allah SWT.
Artinya : “Dan Aku tidak menciptakan jin dan
manusia melainkan supaya mereka bersujud Pada-Ku”
Selain itu, berikut dijelaskan dalam Q.S.
Al-Baqarah ayat 30 tentang tugas manusia sebagai pemimpin di bumi ini.
Artinya : “Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman
kepada para malaikat: "Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah
di muka bumi." mereka berkata: "Mengapa Engkau hendak menjadikan
(khalifah) di bumi itu orang yang akan membuat kerusakan padanya dan
menumpahkan darah, padahal kami senantiasa bertasbih dengan memuji Engkau dan
mensucikan Engkau?" Tuhan berfirman: "Sesungguhnya Aku mengetahui apa
yang tidak kamu ketahui."
Berkaitan dengan hal ini, Rosulullah Saw
pernah bersabda yang artinya:
“Setiap Kamu adalah pemimpin dan setiap kamu
bertanggung jawab terhadap kepemimpinannya. Kepala negara adalah pemimpin dan
bertanggung jawab terhadap rakyatnya. Seorang suami adalah pemimpin di rumah
tangganya dan dia bertanggung jawab terhadap keluarganya. Seorang istri adalah
pemimpin di rumah suaminya dan dia bertanggung jawab terhadap rumah tangganya.
Seorang pembantu adalah pemimpin pada harta benda majikannya dan dia
bertanggung jawab terhadap kepemimpinannya.” (HR. Muttafaqun ‘Alaih)[3]
Selain itu, agama juga berperan sebagai petunjuk bagi manusia guna
pedoman hidup dalam mengarungi lika-liku kehidupan yang begitu terjal. Sehingga
untuk mendapatkan kesehatan mental yang maksimal diperlukan petunjuk yang mampu
menjalankan fungsinya dengan sebaik mungkin.
1.
Memelihara Fitrah
Manusia itu
dilahirkan dalam keadaan yang suci, bebas tanpa dosa maupun noda. Peliknya
kehidupan inilah yang akan mewarnai bagaimana kehidupan manusia nanti. Sehingga
ia bergantung pada alur kehidupan bagaimana keberlangsungannya kelak. Apabila
ditinjau secara psikologis, adakalanya manusia itu dipengaruhi oleh lingkungan.
Hal ini sejalan dengan dengan apa yang dikatakan oleh John Locke dalam aliran
empirisme. Menurut tokoh yang satu ini,
anak yang baru dilahirkan masih bersih seperti tabula rasa dan baru akan berisi
bila ia menerima sesuatu dari luar lewat alat indranya.[4]
Hal itu seperti sabda Rosulullah Saw yang artinya:
“ Setiap anak
dilahirkan dalam keadaan fitrah, maka ibu bapaknyalah (yang akan berperan) ‘mengubah’
anak itu menjadi seorang Yahudi atau Nasrani atau Majusi”[5]
Dalam
memelihara maupun menjaga fitrah tersebut, seringakali manusia menagalami
kesulitan maupun rintangan karena adanya faktor penganggu yakni syaitan.
Sejalan dengan kondidi tersebut, agama memiliki andil yang cukup penting guna
mengendalikan bujuk rayu syaitan agar tidak terjerumus dalam lumbung dosa. Oleh
karenanya pembinaan dan pengoptimalan iman dan taqwa ini sangatlah dibutuhkan
guna menjaga diri manusia sesuai dengan fitrahnya.
2.
Memelihara Jiwa
Agama sangat
mengahargai harkat – martabat manusia. Oleh karena itu, ia sangat menetang
keras adanya penyiksaan terhadap orang lain maupun diri sendiri. Untuk memperoleh
jiwa yang sehat, seseorang harus berjuang membersihkan jiwanya. Seorang
pujangga Arab pernah menulis:[6]
“Wahai jiwa,
Berhati-hatilah!
Tolonglah aku dengan perjuanganmu
Dalam
keremangan gelapnya malam;
Hingga pada
hari kiamat
Engkau akan
menang dalam puncak kehidupan yang baik”
3.
Memelihara Akal
Hal pokok yang
menjadi pembeda antara manusia dengan hewan ataupun makluk hidup lainnya adalah
adanya akal yang melekat dalam diri manusia.
Meskipun jika ditinjau dari sisi agama kedudukan akal di bwah naqli,
namun dalam pemebentukkan jiwa ataupun kepribadian manusia akal memiliki posisi
penting. Hal ini dikarenakan dengan adanya akal manusia bisa membedakan mana
yang benar dan mana yang salah. Selain itu, dengan adanya akal, diharapkan
manusia dapat mengembangkan dirinya lewat ilmu pengetahuan dan teknologi.
Yusria
Ningsih, dalam bukunya Kesehatan Mental menjelaskan bahwa karena begitu
pentingnya akal, maka agama memberi petunjuk kepada manusia untuk memelihara
dan mengembangkan akalnya dengan maksimal, yaitu:
a.
Memelihara nikmat akal itu, denagan
memanfaatkannya secara optimal untuk berfikir dalam mencari ilmu penegetahuan
b.
Menjauhkan diri dari perbuatan yang
merusak akal, seperti mengkonsumsi minuman keras dan obat – obatan terlarang
maupun hal – hal lain yang dapat mejadikan disfungsinya akal manusia
4.
Memelihara Keturunan
Agama
mengajarkan kepada manusia untuk menjaga dan memelihara keturunannya lewat
ikatan suci pernikahan dalam hubungan berkeluarga.. Keluarga merupakan
warisan umat manusia yang terus dipertahankan keberadaannya dan tidak akan
tergerus perubahan zaman.[7]
Berkeluarga
(rumah tangga) di samping merupakan integral dari sunnah Allah SWT, juga
merupakan kebutuhan biologis manusia yang akan meneruskan generasi penerus
khalifah di bumi, keluarga juga merupakan cikal – bakal dari pada suatu umat,
bangsa dan negara. Maka sangat logis kalau al-Qur’an dan hadith sangat
memperhatikan proses berkeluarga, muali pra nikah, proses nikah, pasca nikah
samapai pasca kematian yang berujung
pada pembagian waris. Yang unik bahwa berkeluarga (baca: berumah tangga,
menikah) juga bagian ibadah kepada Allah SWT (Rowi : 1997)[8]
Agama
merupakan sumber nilai, kepercayaan dan pola – pola tingkah laku yang akan
memberikan tuntunan bagi arti, tujuan dan kestabilan hidup umat manusia.[9]
Semua ibadah mencerminkan semangat kesehatan.[10]
Sholat dan doa merupakan medium dalam agama untuk menuju ke arah kehidupan yang
berarti.[11]
Beberapa
pendapat para ahli terhadap kesehatan mental, yaitu sebagai berikut ini,
sebagaimana dinukil oleh Penulis dari buku Ibu Yusria Ningsih dalam judul yang
sama:
1.
William James (seorang filosof dan
ahli jiwa Amerika berpendapat bahwa:
a.
Tidak diragukan lagi bahwa terapi
yang terbaik bagi keresahan adalah keimanan kepada Tuhan
b.
Keimanan kepada Tuhan merupakan
salah satu kekuatan yang tidak boleh tidak, harus terpenuhi untuk menopang seseorang
dalam hidup ini
c.
Antara kita dengan Tuhan terdapat
suatu ikatan yang tidak terputus apabila kita meneundukkan diri di bawah
pengarahan-Nya maka semua cita – cita dan harapan kita akan tercapai
d.
Gelombang lautan yang menggelora,
sama sekali tidak membuat keruh ketenangan relung hati yang dalam dan tidak
membuatnya resah
2.
AA. Briel (psikoanalisis)
mengatakan bahwa: “individu yang benar – benar religius tidak akan pernah
menderita sakit jiwa”.
3.
Arnold Toynbee (sejarawan Inggris)
mengemukakan bahwa krisis yang diderita orang – orang Eropa pada zaman modern
ini pada dasarnya terjadi karena kemiskinan rohaniah, dan terapi satu-satunya
bagi penderita ialah kembali kepada agama.
4.
Larson berpendapat bahwa “in navigating
the complexitities of human health and relationship, religious commitment is a
force to consider”, untuk mengendalikan kompleksitas hubungan dan kesehatan
manusia, maka komitmen terhadap agama merupakan suatu kekuatan yang patut
diperhatikan. (Utsman Najati, 1985. Iqbal Setyarso dan M Solihat 1996)
5.
Dadang Hawari Idries (psikiater)
mengemukakan bahwa dari sejumlah penelitian para ahli, ternyata bisa
disimpulkan:
a.
Komitmen agama dapat mencegah dan
melindungi seseorang dari penyakit, meningkatkan kemampuan mengatasi penyakit
dan mempercepat pemulihan penyakit
b.
Agama lebih bersifat protektif
daripada problem producing
c.
Komitmen agama memiliki hubungan
signifikan dan positif clinical benefit
6.
Koening, dkk (1998) mengemukakan
bahwa banyak orang yang secara spontan melaporkan bahwa agama sangat menolong
dirinya pada saat mengatasi stress.
7.
Seybold & Hill (2001) agama itu
bukan hanya sebagian hidup yang bermakna, tetapi juga yang memberikan
keuntungan dalam mengembangkan mental yang sehat
8.
Zakiah Daradjat (1982:58)
mengemukakan bahwa “apabila manusia ingin terhindar dari kegelisahan, kecemasan
dan ketegangan jiwa serta ingin hidup tenang, tentram, bahagia, dan dapat
membahagiakan orang lain maka hendaklah manusia percaya pada Tuhan dan hidup
mengamalkan ajaran agama. Agama bukanlah dogam, tetapi agama adalah kebutuhan
jiwa yang perlu dipenuhi
Dari sekian banyak pendapat yang dikemukakan
oleh para ahli, maka dapat dsimpulakan bahwa agama sangat berpengaruh dalam
kesehatan mental manusia. Sehingga anatara agama dan kesehatan mental ini
saling berbanding lurus atau mempunyai hubungan simbiosis mutualisme.
Manusia membutuhkan agama
Agama adalah “The problem of ultimate
concern” : masalah yang mengenai kepentingan mutlak setiap orang.[12] Oleh karena itu, menurut Paul Tillich, setiap
orang yang beragama selalu berada dalam keadaan involved (terlibat) dengan
agama yang dianutnya. Memang, kata Profesor Rasjidi, manusia beragama itu
“aneh”. Ia melibatkan diri terhadap agama yang dianutnya dan mengikatkan
dirinya kepada Tuhan. Tetapi, bersamaan dengan itu merasa bebas. Karena bebas
menjalankan segala sesuatu menurut keyakinannya. Ia tunduk kepada yang Yang
Maha Kuasa, tetapi (bersamaan tentang itu) ia merasa dirinya terangkat, karena
merasa mendapat keselamatan. Keselamatanlah yang menjadi tujuan akhir kehidupan
manusia dan keselamatan itu akan diperoleh
melalui pelaksanaan keyakinan agama yang ia peluk (H.M. Rasjidi, 1976).
Jika ilmu jiwa banyak berbicara tentang
perasaan dan ketentraman jiwa, maka agama memberikan berbagai pedoman dan
petunjuk agar ketentraman jiwa tercapai, dalam al-Qur’an banyak sekali ayat –
ayat tentang itu, misalnya surat Ar’Ra’du ayat 28-29:[13]
tûïÏ%©!$#
(#qãZtB#uä
ûÈõuKôÜs?ur
Oßgç/qè=è%
Ìø.ÉÎ/
«!$#
3
wr&
Ìò2ÉÎ/
«!$#
ûÈõyJôÜs?
Ü>qè=à)ø9$#
ÇËÑÈ
úïÏ%©!$#
(#qãZtB#uä
(#qè=ÏJtãur
ÏM»ysÎ=»¢Á9$#
4n1qèÛ
óOßgs9
ß`ó¡ãmur
5>$t«tB
ÇËÒÈ
Artinya
: “(yaitu) orang-orang yang beriman dan hati mereka manjadi tenteram dengan
mengingat Allah. Ingatlah, Hanya dengan mengingati Allah-lah hati menjadi
tenteram. Orang-orang yang beriman dan beramal saleh, bagi mereka kebahagiaan
dan tempat kembali yang baik.”
[2] Zakiah
Daradjat, Pendidikan Agama Dalam Pembinaan Mental (Jakarta, Bulan
Bintang, 1982) h. 91
[3] Purwa Atmaja
Prawira, Psikologi Kepribadian Dengan Perspektif Baru (Jogjakarta, Ar –
Ruzz Media, 2006) h. 91
[4] Ibid. h. 69
[5] Ibid. h. 89
[6] Aliah B.
Purwakania Hasan, Pengantar Psikologi kesehatan Islami (Jakarta,
Rajawali Press, 2008) h. 60-61
[7] Yahya Aziz, Manis
Taubatnya Peselingkuh (Surabaya, Menara Madinah, 2013) h. 1
[8] Ibid. h. 2
[9] Yusria
Ningsih, Kesehatan Mental. h. 73
[10] Ali Aziz,
60 Menit Terapi Shalat Bahagia (Surabaya, IAIN Sunan Ampel Press 2013) h.
190
[11] Yusria
Ningsih, Kesehatan Mental. h. 73
[12] Mohammad Daud
Ali, Pendidikan Agama Islam, Jakarta : Raja Grafindo Persada 2011. h. 40
[13] Zakiah Daradjat,
Pendidikan Agama Dalam Pembinaan Mental. h. 92
Tidak ada komentar:
Posting Komentar