Kamis, 15 Mei 2014

Kesehatan Mental Dalam Islam



Menurut fithrahnya, manusia adalah makhluk beragama (homo religius), yaitu makhluk yang memiliki rasa keagamaan dan kemampuan untuk memahami dan mengamalkan nilai-nilai agama.[1] Dari kefitrhahan tersebut itulah yang membedakan antara manusia dengan makhluk yang lain termasuk dengan binatang. Binatang lebih cenderung memenuhi nafsunya, namun manusia diberi kelebihan untuk menggunakan akal pikirnya guna bertindak.

Untuk membina kesehatan mental – baik pembinaan yang berjalan teratur sejak kecil, ataupun pembinaan yang dilakukan setelah dewasa agama sangat penting. Seyogyanya agama masuk menjadi unsur – unsur yang menetukan dalam konstruksi pribadi sejak kecil. Akan tetapi, apabila seseorang menjadi remaja atau dewasa, tanpa mengenal agama, maka kegoncangan jiwa remaja akan mendorong ke arah kelakuan – kelakuan baik.[2]
Hal tersebut sejalan dengan tujuan diciptakannya manusia untuk beribadah kepada Allah SWT, dan sebagai pemimpin di muka bumi ini. Oleh karena itu, agama memiliki konstribusi yang cukup berarti dalam pembentukkan mental manusia maupun kepribadian manusia.Hal tersebut sesuai dengan firman-Nya Q.S Adz Dzariyat : 56 tentang tujuan diciptakannya manusia untuk menyembah kepada Allah SWT.
Artinya : “Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka bersujud Pada-Ku”
Selain itu, berikut dijelaskan dalam Q.S. Al-Baqarah ayat 30 tentang tugas manusia sebagai pemimpin di bumi ini. 
Artinya : “Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada para malaikat: "Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi." mereka berkata: "Mengapa Engkau hendak menjadikan (khalifah) di bumi itu orang yang akan membuat kerusakan padanya dan menumpahkan darah, padahal kami senantiasa bertasbih dengan memuji Engkau dan mensucikan Engkau?" Tuhan berfirman: "Sesungguhnya Aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui."
Berkaitan dengan hal ini, Rosulullah Saw pernah bersabda yang artinya:
“Setiap Kamu adalah pemimpin dan setiap kamu bertanggung jawab terhadap kepemimpinannya. Kepala negara adalah pemimpin dan bertanggung jawab terhadap rakyatnya. Seorang suami adalah pemimpin di rumah tangganya dan dia bertanggung jawab terhadap keluarganya. Seorang istri adalah pemimpin di rumah suaminya dan dia bertanggung jawab terhadap rumah tangganya. Seorang pembantu adalah pemimpin pada harta benda majikannya dan dia bertanggung jawab terhadap kepemimpinannya.” (HR. Muttafaqun ‘Alaih)[3]
Selain itu, agama juga berperan sebagai petunjuk bagi manusia guna pedoman hidup dalam mengarungi lika-liku kehidupan yang begitu terjal. Sehingga untuk mendapatkan kesehatan mental yang maksimal diperlukan petunjuk yang mampu menjalankan fungsinya dengan sebaik mungkin.
1.      Memelihara Fitrah
Manusia itu dilahirkan dalam keadaan yang suci, bebas tanpa dosa maupun noda. Peliknya kehidupan inilah yang akan mewarnai bagaimana kehidupan manusia nanti. Sehingga ia bergantung pada alur kehidupan bagaimana keberlangsungannya kelak. Apabila ditinjau secara psikologis, adakalanya manusia itu dipengaruhi oleh lingkungan. Hal ini sejalan dengan dengan apa yang dikatakan oleh John Locke dalam aliran empirisme. Menurut tokoh yang satu  ini, anak yang baru dilahirkan masih bersih seperti tabula rasa dan baru akan berisi bila ia menerima sesuatu dari luar lewat alat indranya.[4] Hal itu seperti sabda Rosulullah Saw yang artinya:
“ Setiap anak dilahirkan dalam keadaan fitrah, maka ibu bapaknyalah (yang akan berperan) ‘mengubah’ anak itu menjadi seorang Yahudi atau Nasrani atau Majusi”[5]
Dalam memelihara maupun menjaga fitrah tersebut, seringakali manusia menagalami kesulitan maupun rintangan karena adanya faktor penganggu yakni syaitan. Sejalan dengan kondidi tersebut, agama memiliki andil yang cukup penting guna mengendalikan bujuk rayu syaitan agar tidak terjerumus dalam lumbung dosa. Oleh karenanya pembinaan dan pengoptimalan iman dan taqwa ini sangatlah dibutuhkan guna menjaga diri manusia sesuai dengan fitrahnya.
2.      Memelihara Jiwa
Agama sangat mengahargai harkat – martabat manusia. Oleh karena itu, ia sangat menetang keras adanya penyiksaan terhadap orang lain maupun diri sendiri. Untuk memperoleh jiwa yang sehat, seseorang harus berjuang membersihkan jiwanya. Seorang pujangga Arab pernah menulis:[6]
“Wahai jiwa,
Berhati-hatilah! Tolonglah aku dengan perjuanganmu
Dalam keremangan gelapnya malam;
Hingga pada hari kiamat
Engkau akan menang dalam puncak kehidupan yang baik”
3.      Memelihara Akal
Hal pokok yang menjadi pembeda antara manusia dengan hewan ataupun makluk hidup lainnya adalah adanya akal yang melekat dalam diri manusia.  Meskipun jika ditinjau dari sisi agama kedudukan akal di bwah naqli, namun dalam pemebentukkan jiwa ataupun kepribadian manusia akal memiliki posisi penting. Hal ini dikarenakan dengan adanya akal manusia bisa membedakan mana yang benar dan mana yang salah. Selain itu, dengan adanya akal, diharapkan manusia dapat mengembangkan dirinya lewat ilmu pengetahuan dan teknologi.
Yusria Ningsih, dalam bukunya Kesehatan Mental menjelaskan bahwa karena begitu pentingnya akal, maka agama memberi petunjuk kepada manusia untuk memelihara dan mengembangkan akalnya dengan maksimal, yaitu:
a.    Memelihara nikmat akal itu, denagan memanfaatkannya secara optimal untuk berfikir dalam mencari ilmu penegetahuan
b.   Menjauhkan diri dari perbuatan yang merusak akal, seperti mengkonsumsi minuman keras dan obat – obatan terlarang maupun hal – hal lain yang dapat mejadikan disfungsinya akal manusia
4.      Memelihara Keturunan
Agama mengajarkan kepada manusia untuk menjaga dan memelihara keturunannya lewat ikatan suci pernikahan dalam hubungan berkeluarga.. Keluarga merupakan warisan umat manusia yang terus dipertahankan keberadaannya dan tidak akan tergerus perubahan zaman.[7]
Berkeluarga (rumah tangga) di samping merupakan integral dari sunnah Allah SWT, juga merupakan kebutuhan biologis manusia yang akan meneruskan generasi penerus khalifah di bumi, keluarga juga merupakan cikal – bakal dari pada suatu umat, bangsa dan negara. Maka sangat logis kalau al-Qur’an dan hadith sangat memperhatikan proses berkeluarga, muali pra nikah, proses nikah, pasca nikah samapai pasca  kematian yang berujung pada pembagian waris. Yang unik bahwa berkeluarga (baca: berumah tangga, menikah) juga bagian ibadah kepada Allah SWT (Rowi : 1997)[8]
Agama merupakan sumber nilai, kepercayaan dan pola – pola tingkah laku yang akan memberikan tuntunan bagi arti, tujuan dan kestabilan hidup umat manusia.[9] Semua ibadah mencerminkan semangat kesehatan.[10] Sholat dan doa merupakan medium dalam agama untuk menuju ke arah kehidupan yang berarti.[11]
Beberapa pendapat para ahli terhadap kesehatan mental, yaitu sebagai berikut ini, sebagaimana dinukil oleh Penulis dari buku Ibu Yusria Ningsih dalam judul yang sama:
1.      William James (seorang filosof dan ahli jiwa Amerika berpendapat bahwa:
a.       Tidak diragukan lagi bahwa terapi yang terbaik bagi keresahan adalah keimanan kepada Tuhan
b.      Keimanan kepada Tuhan merupakan salah satu kekuatan yang tidak boleh tidak, harus terpenuhi untuk menopang seseorang dalam hidup ini
c.       Antara kita dengan Tuhan terdapat suatu ikatan yang tidak terputus apabila kita meneundukkan diri di bawah pengarahan-Nya maka semua cita – cita dan harapan kita akan tercapai
d.      Gelombang lautan yang menggelora, sama sekali tidak membuat keruh ketenangan relung hati yang dalam dan tidak membuatnya resah
2.      AA. Briel (psikoanalisis) mengatakan bahwa: “individu yang benar – benar religius tidak akan pernah menderita sakit jiwa”.
3.      Arnold Toynbee (sejarawan Inggris) mengemukakan bahwa krisis yang diderita orang – orang Eropa pada zaman modern ini pada dasarnya terjadi karena kemiskinan rohaniah, dan terapi satu-satunya bagi penderita ialah kembali kepada agama.
4.      Larson berpendapat bahwa “in navigating the complexitities of human health and relationship, religious commitment is a force to consider”, untuk mengendalikan kompleksitas hubungan dan kesehatan manusia, maka komitmen terhadap agama merupakan suatu kekuatan yang patut diperhatikan. (Utsman Najati, 1985. Iqbal Setyarso dan M Solihat 1996)
5.      Dadang Hawari Idries (psikiater) mengemukakan bahwa dari sejumlah penelitian para ahli, ternyata bisa disimpulkan:
a.       Komitmen agama dapat mencegah dan melindungi seseorang dari penyakit, meningkatkan kemampuan mengatasi penyakit dan mempercepat pemulihan penyakit
b.      Agama lebih bersifat protektif daripada problem producing
c.       Komitmen agama memiliki hubungan signifikan dan positif clinical benefit
6.      Koening, dkk (1998) mengemukakan bahwa banyak orang yang secara spontan melaporkan bahwa agama sangat menolong dirinya pada saat mengatasi stress.
7.      Seybold & Hill (2001) agama itu bukan hanya sebagian hidup yang bermakna, tetapi juga yang memberikan keuntungan dalam mengembangkan mental yang sehat
8.      Zakiah Daradjat (1982:58) mengemukakan bahwa “apabila manusia ingin terhindar dari kegelisahan, kecemasan dan ketegangan jiwa serta ingin hidup tenang, tentram, bahagia, dan dapat membahagiakan orang lain maka hendaklah manusia percaya pada Tuhan dan hidup mengamalkan ajaran agama. Agama bukanlah dogam, tetapi agama adalah kebutuhan jiwa yang perlu dipenuhi
Dari sekian banyak pendapat yang dikemukakan oleh para ahli, maka dapat dsimpulakan bahwa agama sangat berpengaruh dalam kesehatan mental manusia. Sehingga anatara agama dan kesehatan mental ini saling berbanding lurus atau mempunyai hubungan simbiosis mutualisme.
Manusia membutuhkan agama
Agama adalah “The problem of ultimate concern” : masalah yang mengenai kepentingan mutlak setiap orang.[12]  Oleh karena itu, menurut Paul Tillich, setiap orang yang beragama selalu berada dalam keadaan involved (terlibat) dengan agama yang dianutnya. Memang, kata Profesor Rasjidi, manusia beragama itu “aneh”. Ia melibatkan diri terhadap agama yang dianutnya dan mengikatkan dirinya kepada Tuhan. Tetapi, bersamaan dengan itu merasa bebas. Karena bebas menjalankan segala sesuatu menurut keyakinannya. Ia tunduk kepada yang Yang Maha Kuasa, tetapi (bersamaan tentang itu) ia merasa dirinya terangkat, karena merasa mendapat keselamatan. Keselamatanlah yang menjadi tujuan akhir kehidupan manusia dan keselamatan itu akan diperoleh  melalui pelaksanaan keyakinan agama yang ia peluk (H.M. Rasjidi, 1976).
Jika ilmu jiwa banyak berbicara tentang perasaan dan ketentraman jiwa, maka agama memberikan berbagai pedoman dan petunjuk agar ketentraman jiwa tercapai, dalam al-Qur’an banyak sekali ayat – ayat tentang itu, misalnya surat Ar’Ra’du ayat 28-29:[13]
tûïÏ%©!$# (#qãZtB#uä ûÈõuKôÜs?ur Oßgç/qè=è% ̍ø.ÉÎ/ «!$# 3 Ÿwr& ̍ò2ÉÎ/ «!$# ûÈõyJôÜs? Ü>qè=à)ø9$# ÇËÑÈ šúïÏ%©!$# (#qãZtB#uä (#qè=ÏJtãur ÏM»ysÎ=»¢Á9$# 4n1qèÛ óOßgs9 ß`ó¡ãmur 5>$t«tB ÇËÒÈ
Artinya : “(yaitu) orang-orang yang beriman dan hati mereka manjadi tenteram dengan mengingat Allah. Ingatlah, Hanya dengan mengingati Allah-lah hati menjadi tenteram. Orang-orang yang beriman dan beramal saleh, bagi mereka kebahagiaan dan tempat kembali yang baik.”


[1] Yusria Ningsih, Kesehatan Mental (Surabaya, IAIN Sunan Ampel Press, 2011)h.70
[2] Zakiah Daradjat, Pendidikan Agama Dalam Pembinaan Mental (Jakarta, Bulan Bintang, 1982) h. 91
[3] Purwa Atmaja Prawira, Psikologi Kepribadian Dengan Perspektif Baru (Jogjakarta, Ar – Ruzz Media, 2006) h. 91
[4] Ibid. h. 69
[5] Ibid. h. 89
[6] Aliah B. Purwakania Hasan, Pengantar Psikologi kesehatan Islami (Jakarta, Rajawali Press, 2008) h. 60-61
[7] Yahya Aziz, Manis Taubatnya Peselingkuh (Surabaya, Menara Madinah, 2013) h. 1
[8] Ibid. h. 2
[9] Yusria Ningsih, Kesehatan Mental. h. 73
[10] Ali Aziz, 60 Menit Terapi Shalat Bahagia (Surabaya, IAIN Sunan Ampel Press 2013) h. 190
[11] Yusria Ningsih, Kesehatan Mental. h. 73
[12] Mohammad Daud Ali, Pendidikan Agama Islam, Jakarta : Raja Grafindo Persada 2011. h. 40
[13] Zakiah Daradjat, Pendidikan Agama Dalam Pembinaan Mental. h. 92

Tidak ada komentar:

Posting Komentar