Santri Pesantren Zainul Hasan Genggong; Pribadi Islami |
Manusia dalam
pandangan Al-Qur’an ditempatkan sebagai makhluk ciptaan Tuhan yang memiliki
beberapa keistimewaan.
Secara fisik
biologis, manusia diciptakan sebagai makhluk yang memiliki struktur tubuh
sempurna (fii ahsani taqwiim) sebagaimana yang dijelaskan dalam firman
Allah swt:
Artinya “Sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dalam bentuk yang sebaik-baiknya”.
Dari segi
perlengkapan indrawi, manusia sebagai makhluk yang dilengkapi kemampuan untuk
menjelaskan dan berkomunikasi, juga dilengkapi kempuan emosional, kesadaran dan
penalaran, melalui fungsi dari hati nurani dan akalnya.[1]
Sedangkan dari segi ruh spiritual, manusia adalah makhluk yang dianugrahi ruh
Tuhan. Manusia sebagai makhluk yang dimuliakan Allah Swt.
Allah juga
berfirman dalam Al-Qur’an tentang kemulyaan seorang manusia dalam surah
Al-Israa’:70 seperti berikut:
Artinya “Dan Sesungguhnya telah Kami muliakan anak-anak Adam, Kami angkut
mereka di daratan dan di lautan,Kami beri mereka rezki dari yang baik-baik dan
Kami lebihkan mereka dengan kelebihan yang sempurna atas kebanyakan makhluk
yang telah Kami ciptakan”.
Al-Qur’an
setidaknya terdapat tiga sebutan atau istilah untuk menjelaskan hakikat
manusia. Yakni basyar, insan, dan an-nas. Adapun
penjelasan dari tiga kalimat tersebut adalah sebagai berikut[2]:
a.
Basyar
Basyar memberikan isyarat makna bahwa manusia adalah makhluk biologis.
Yang berarti manusia butuh akan makan, minum, seks dan lain sebagainya.
Tafsiran dari pera pemikir Islam seperti tafsirannya Yusuf Ali dan
Ibnu Arabi yang menyatakan bahwa tidak ada makhluk tuhan yang lebih bagus dari
manusia. Dengan kuasa Allah, manusia hidup, mengetahui, berkuasa, berkehendak,
berbicara, mendengar, melihat, memutuskan, dan semua itu adalah sifat-sifat
ketuhanan.
b.
Insan
Kata insan disebutkan dalam Al-Qur’an sebanyak 65 kali. Dan insan
ini kemudian dikelompokkan menjadi tiga kategori. Pertama, insan
dihubungkan dengan keistimewaannya sebagai khalifah atau pemikul amanah.
Seorang hamba benar-benar mendapatkan predikat sebagai khalifah
adalah seorang hamba yang telah diberi potensi oleh Allah sebagiamana
potensi-potensi yang dimiliki para kekasih Allah. Tidaklah layak seseorang
mengaku-ngaku sebagai khalifah Allah, tetapi ilmunya dangkal, spiritualnya
masih gelap dan tak berarah, mentalnya masih rapuh dan akhlaknya tercela bahkan
matrealis, dan rakus akan kedudukan dan materi duniawi.[3]
Kedua, insan dihubungkan dengan kecenderungan negatif manusia
seperti berbuat kerusakan, dosa dan sebagainya. Ketiga, insan
dihubungkan dengan proses penciptaan manusia. Semua konteks insan tersebut
bertuju pada sifat-sifat psikologis atau spiritualitas manusia.
c.
An-nas
Konsep ketiga yakni kata an-nas yang mana menunjukkan
pengertian bahwa manusia adalah makhluk sosial. Setidaknya Al-Qur’an menyebut
kata an-nas sebanyak 240 kali. Al-Qur’an pun diturunkan sebagai petunjuk
tidak hanya untuk manusia secara individual, melainkan juga untuk manusia
secara sosial.
Sebagaimana yang telah dijelaskan di awal bahwa tidak
hanya ada hukum-hukum yang berhubungan dengan karakteristik biologis manusia,
melainkan juga ada hukum-hukum yang mengatur manusia sebagai makhluk psikologis
dan makhluk sosial.
[1]
Dr. Musfir bin Said Az-Zahrani, Konseling Terapi. (Jakarta: Gema Insani,
2005), hlm. 83
[2]
Dr. H. Asep Muhiddin, M.A., Dakwah Dalam Perspektif Al-Qur’an. (Bandung:
CV Pustaka Setia, 2002), hlm. 93
[3]
Hamdani Bakran Adz-Dzaky, konseling & Psikoterapi Islam.
(Jogyakarta: Al-Manar, 2004), hlm. 26
Tidak ada komentar:
Posting Komentar