Selasa, 30 September 2014

Konsep Manusia menurut Al-Qur’an; Istilah Basyr, Insan dan An-Nas


Santri Pesantren Zainul Hasan Genggong; Pribadi Islami
Manusia dalam pandangan Al-Qur’an ditempatkan sebagai makhluk ciptaan Tuhan yang memiliki beberapa keistimewaan.
Secara fisik biologis, manusia diciptakan sebagai makhluk yang memiliki struktur tubuh sempurna (fii ahsani taqwiim) sebagaimana yang dijelaskan dalam firman Allah swt:
  
Artinya “Sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dalam bentuk yang sebaik-baiknya.
Dari segi perlengkapan indrawi, manusia sebagai makhluk yang dilengkapi kemampuan untuk
menjelaskan dan berkomunikasi, juga dilengkapi kempuan emosional, kesadaran dan penalaran, melalui fungsi dari hati nurani dan akalnya.[1] Sedangkan dari segi ruh spiritual, manusia adalah makhluk yang dianugrahi ruh Tuhan. Manusia sebagai makhluk yang dimuliakan Allah Swt.
Allah juga berfirman dalam Al-Qur’an tentang kemulyaan seorang manusia dalam surah Al-Israa’:70 seperti berikut:
Artinya “Dan Sesungguhnya telah Kami muliakan anak-anak Adam, Kami angkut mereka di daratan dan di lautan,Kami beri mereka rezki dari yang baik-baik dan Kami lebihkan mereka dengan kelebihan yang sempurna atas kebanyakan makhluk yang telah Kami ciptakan.
Al-Qur’an setidaknya terdapat tiga sebutan atau istilah untuk menjelaskan hakikat manusia. Yakni basyar, insan, dan an-nas. Adapun penjelasan dari tiga kalimat tersebut adalah sebagai berikut[2]:
a.      Basyar
Basyar memberikan isyarat makna bahwa manusia adalah makhluk biologis. Yang berarti manusia butuh akan makan, minum, seks dan lain sebagainya.
Tafsiran dari pera pemikir Islam seperti tafsirannya Yusuf Ali dan Ibnu Arabi yang menyatakan bahwa tidak ada makhluk tuhan yang lebih bagus dari manusia. Dengan kuasa Allah, manusia hidup, mengetahui, berkuasa, berkehendak, berbicara, mendengar, melihat, memutuskan, dan semua itu adalah sifat-sifat ketuhanan.
b.      Insan
Kata insan disebutkan dalam Al-Qur’an sebanyak 65 kali. Dan insan ini kemudian dikelompokkan menjadi tiga kategori. Pertama, insan dihubungkan dengan keistimewaannya sebagai khalifah atau pemikul amanah.
Seorang hamba benar-benar mendapatkan predikat sebagai khalifah adalah seorang hamba yang telah diberi potensi oleh Allah sebagiamana potensi-potensi yang dimiliki para kekasih Allah. Tidaklah layak seseorang mengaku-ngaku sebagai khalifah Allah, tetapi ilmunya dangkal, spiritualnya masih gelap dan tak berarah, mentalnya masih rapuh dan akhlaknya tercela bahkan matrealis, dan rakus akan kedudukan dan materi duniawi.[3]
Kedua, insan dihubungkan dengan kecenderungan negatif manusia seperti berbuat kerusakan, dosa dan sebagainya. Ketiga, insan dihubungkan dengan proses penciptaan manusia. Semua konteks insan tersebut bertuju pada sifat-sifat psikologis atau spiritualitas manusia.
c.       An-nas
Konsep ketiga yakni kata an-nas yang mana menunjukkan pengertian bahwa manusia adalah makhluk sosial. Setidaknya Al-Qur’an menyebut kata an-nas sebanyak 240 kali. Al-Qur’an pun diturunkan sebagai petunjuk tidak hanya untuk manusia secara individual, melainkan juga untuk manusia secara sosial.
Sebagaimana yang telah dijelaskan di awal bahwa tidak hanya ada hukum-hukum yang berhubungan dengan karakteristik biologis manusia, melainkan juga ada hukum-hukum yang mengatur manusia sebagai makhluk psikologis dan makhluk sosial.


[1] Dr. Musfir bin Said Az-Zahrani, Konseling Terapi. (Jakarta: Gema Insani, 2005), hlm. 83
[2] Dr. H. Asep Muhiddin, M.A., Dakwah Dalam Perspektif Al-Qur’an. (Bandung: CV Pustaka Setia, 2002), hlm. 93
[3] Hamdani Bakran Adz-Dzaky, konseling & Psikoterapi Islam. (Jogyakarta: Al-Manar, 2004), hlm. 26

Tidak ada komentar:

Posting Komentar